Mohon tunggu...
Yunas Windra
Yunas Windra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir di Bukittinggi, SD pindah ke Banten, SMP Muhammadiyah Pontang, Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Serang Banten, IKIP Jakarta Adm.Perencanaan Pendidikan, Aktivitas sekarang di Lembaga Pendidikan Nurul Fikri sejak tahun 1988

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Saya Emosi Menyaksikan Politikus dan Pakar Hukum di ILC yang Emosi

22 Januari 2014   17:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:34 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi normal saja oknum aparat atau pejabat seringnya seperti serigala berbulu domba terhadap rakyatnya. Tidak jarang rakyat dijadikan objek sapi perah dalam berbagai kasus. Bayangkan posisi yang logikanya melayani saja justru mencari kesempatan berbuat jahat, konon tah lagi pejabat oknum pejabat Negara yang berkarekter ‘penjahat negara’.

Dalam kasus kejahatan dan niat berbuat jahat, karena sudah ada niat melakukan tindakan menyimpang tentunya strategi sudah dilakukan untuk menghindar dari jerat hukum jika suatu ketika terjerat kasus. Sudah menjadi kenyataan sehari-hari saat pejabat Negara berhadapan dengan kasus hukum melakukan cara-cara yang tidak biasa sebagai usaha menghindar dari tuntutan atas kesalahan yang diperbuat. Berbohong, pura-pura lupa, beralibi sakit, memfitnah orang lain, menghilangkan barang bukti dan banyak lagi yang lain.

Menarik apa yang diungkap beberapa ahli hukum dan politik semalam di ILC acaranya bang Karni Ilyas. Kata pakar hukum yang kita ‘hormati’ Bang Buyung tidak boleh KPK menghalalkan segala cara untuk menangani kasus. Tidak boleh mencari-cari kesalahan, tidak melakukan pelanggaran etika bla-bla-bla, saya pikir semua sepakat sampai ditemukan bukti awal yang meyakinkan. Dalam berbagai kasus yang ditangani KPK seorang dinyatakan berstatus tersangka setelah ditemukan dua alat bukti yang cukup. Jika sudah ditemukan dua alat bukti yang cukup dan itu meyakinkan, apakah masih layak penanganan kasus ‘penjahat’ mengedepankan etika?. Model Etika yang seperti apa? jika penggeledahan harus ada pemberitahuan pemeriksaan harus didampingi pembela, penyadapan harus pakai izin apa masuk akal pada tahapan seseorang sudah dalam posisi tersangka? Sepertinya pakar hukum harus menjelaskan ini agar nyambung logikanya. Kalau tidak akan sangat mungkin penjahat, pengkhianat, koruptor akan berlindung dibalik tameng praduga tidak bersalah, HAM, Etika dsb.

Beberapa pengamat mengatakan KPK super bodi melakukan sesuatu diluar etika hukum, bukankah jubir KPK selalu mengulang kata-kata bahwa jika itu benar maka arena pembuktiannya dipengadilan bukan perang opini publik.

Logikanya menggunakan ‘segala cara untuk membuktikan ke jahatan’ setelah mendapat bukti awal yang cukup sah-sah saja sebab biasanya tersangka akan menggunakan seluruh kecerdasan dan kelicikannya untuk mengelabui penyidik. Praduga tak bersalah dan tidak melakukan pelanggaran etika itu hanya relevan sebelum ditemukan bukti awal yang cukup, jika sudah ditemukan dan meyakinkan maka menggunakan segala cara itu menjadi keharusan karena penjahat umumnya lebih lihai dari aparat. Dalam kondisi ini selayaknya pengacara menjadi wasit yang adil antara penyidik dan personal yang disidik, bukan membela membabi buta untuk mencarikan celah untuk meloloskan diri dari dakwaan.

Menurut saya yang tidak boleh adalah menghalalkan segala cara untuk menegakkan kebenaran atau dalih kemuliaan, sudah tahu caranya salah, tidak baik bahkan haram dilakukan juga karena menganggap tujuan mulia, gejala ini sepertinya sudah menjadi Virus oknum politikus, mungkin karena sudah begitu jauhnya penyimpangan di berbagai segi kehidupan birokrasi negeri ini. Sebagian politikus yang awalnya idealis menjadi ‘frustasi’.

Jadi sekali lagi menghalalkan segala cara setelah menemukan bukti yang cukup untuk membuktikan kejahatan hemat saya sah saja dilakukan agar aparat penegak hukum tidak kalah strategi dengan penjahat. Hanya saja bentuk-bentuknya disesuaikan dengan tingkat kejahatan dan kebutuhan.

Menjadi lain permasalahannya jika KPK sebagai insitusi penegak hukum pada saat ini kredibilitasnya sudah tidak dipercaya lagi karena ‘dua alat bukti yang cukup’ yang diajukan terbukti tidak faktual dan dapat dimentahkan oleh pengacara di pengadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun