[caption caption="Praja IPDN Chalikul Saleh dan kedua orang tuanya"][/caption]
Seminggu lalu, tepatnya 5 September 2015, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, melantik pejabat eselon II, III, dan IV, di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dalam sambutan pelantikannya, Gubernur Ahok mengaku telah mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membubarkan sekolah kedinasan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Ahok menilai, keberadaan sekolah pamong di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Sekolah pamong yang dirintis oleh Presiden RI pertama Soekarno itu tak sedikit menghasilkan lulusan yang kerap bertindak korup dan menyuap jaksa. Bahkan, seleksi masuknya pun tak transparan.
“Alumni STPDN itu banyak yang kurang baik juga itu. Suka kumpul-kumpul duit, untuk bisa ngelapor ke oknum jaksa, takut diperiksa, lapor ke inspektorat, kumpul-kumpul duit. Saya usul ke Pak Jokowi, Pak kalau bisa IPDN bubarkan sajalah. Untuk apa ada sekolah IPDN kalau masuknya nggak jelas gimana tesnya, lulusnya gimana,” ucap Ahok kala itu.
Pernyataan Gubernur Ahok ini pun membuat kisruh jagad pemberitaan media dalam beberapa hari terakhir. Sejumlah alumni IPDN, baik di pusat maupun daerah, menyatakan tak terima dengan pernyataan Ahok. Sebagian dari mereka turut melayangkan surat kritik terbuka kepada Ahok. Di sisi lain, sejumlah kepala daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Wali Kota ikut berkomentar, namun berbeda dengan Ahok yang menyatakan IPDN tak perlu dibubarkan karena mereka memiliki pandangan yang berbeda tentunya dengan Ahok. Terlebih, sebagian dari kepala daerah itu juga kini menjadi teman Ahok di pemerintahan yang notabene menempuh pendidikan kepemerintahan di IPDN.
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) pun mempunyai pandangan berbeda dengan Ahok. Ia menilai, sekolah pendidikan ke-pamongpraja-an itu masih dibutuhkan.
"Ya namanya usul, terserah saja. IPDN kan tetap dibutuhkan untuk birokrasi di pamong praja. Sekolah apa kalau tidak ada sekolah pamongnya? Khusus pamong, camat, lurah itu harus pendidikannya. Pemerintah Dalam Negeri harus ada sekolahnya juga," tutur JK.
Di balik kisruh dan silang pendapat mengenai bubar tidaknya IPDN, di pusaran elite Jakarta, seorang praja, anak tukang pijat tunanetra, yang kini sedang mengenyam pendidikan di kampus IPDN Jatinangor mengaku sedih. Sejak membaca berita di media online soal pembubaran IPDN, ia pun langsung teringat kepada kedua orang tuanya yang kini sedang sibuk bergelut dengan waktu di sebuah klinik pijat berukuran 2X2,5 meter, mencari sedikit demi sedikit rezeki untuk bertahan hidup dan menyekolahkan kedua adiknya. Dia lah Chalikul Saleh, asal Desa Cibeusi, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Jabar).
Sejak dinyatakan lulus di IPDN setahun lalu melalui proses seleksi terbuka yang diawasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chalikul mengaku senang, terharu, dan bangga. Sejak saat itu pula, ia mulai rajin menabung karena telah memiliki uang saku yang diberikan oleh pemerintah sebesar Rp250 ribu per bulan, mengingat IPDN merupakan sekolah kedinasan. Ketika uang yang terkumpul lumayan banyak, hasil tabungan itu pun ia serahkan kepada kedua orang tuanya buat meringankan beban hidup keluarga.
“Terus terang saya sedih ketika tahu berita dari internet kalau IPDN mau dibubarkan,” kata Chalikul, kepada saya dan kawan-kawan yang kebetulan berkesempatan menemuinya di kampus IPDN Jatinangor, 10 September 2015 lalu.
Ia bercerita, lulus masuk IPDN bukanlah tanpa perjuangan. Setiap hari ia giat belajar. Ditemani ayahnya, Gozali Rahman, sesekali terpaksa menumpang menginap di rumah teman ayahnya di Cimahi agar tak ketinggalan mengikuti jadwal tes keesokan paginya. Ia hanya ingat pesan ayahnya untuk terus berdoa agar berhasil melewati tes seleksi IPDN yang begitu ketat.
Chalikul mengaku sempat merasa pesimis bisa lulus di IPDN setelah beberapa kali mendengar bahwa IPDN itu sekolahnya anak pejabat dan yang lulus pun hanya titipan pejabat. Sementara, ia hanyalah anak tukang pijat tunanetra yang masih berkekurangan. Namun, sang ayah turut menyemangantinya untuk selalu berdoa kepada Yang Kuasa agar diberikan kemudahan dalam tes dan bisa melewatinya dengan baik.
Doa keluarga tunanetra ini pun akhirnya terkabul. Chalikul dinyatakan lulus seleksi IPDN tahun 2014 dengan total nilai test 336 poin mulai dari tes wawasan kebangsaan, intelegensia umum, hingga tes karakteristik pribadi.
“Ada teman seleksi saya waktu itu anak perwira TNI. Tapi, karena memang hasil tesnya jelek ia tetap tidak lolos,” ujar Chalikul.
Kini Chalikul hanya bisa membayang nasib buruk dan nasib baik yang bakal dihadapinya dan keluarga jika IPDN benar-benar dibubarkan atau sebaliknya. Mengingat, Gubernur Ahok adalah teman dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi), orang yang punya kuasa di negeri ini. Meski, di dalam hati kecilnya, ia bersama teman-teman praja satu kampus menaruh harapan besar agar IPDN tetap dipertahankan demi menempa calon-calon pamong pemerintahan yang kelak juga bisa menjadi calon-calon pemimpin bangsa di masa depan.
Kini, setiap selesai salat magrib, ia bersama beberapa teman praja satu barak (kamar tidur praja) senantiasa berdoa bersama demi kelanggengan IPDN untuk selamanya.
“Setelah salat magrib, saya dan beberapa kawan di barak sekarang selalu berdoa, semoga IPDN tak dibubarkan,” harapnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H