Mohon tunggu...
AYE Pramana
AYE Pramana Mohon Tunggu... Dosen - Urban Scholar, Lecturer, Football Lover

Pemerhati masalah perkotaan (belum pantas menyebut diri sebagai Urban Planner), dosen PTS di Jogja, Pecinta Sepakbola (bukan pemain sepakbola)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melacak Jejak Gentrifikasi dan Keterpinggiran di Jogja

6 April 2018   12:29 Diperbarui: 6 April 2018   12:38 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gentrification is not, as one might be encouraged to think from reading recent
scholarship, the saviour of our cities. The term was coined with critical intent to describe
the disturbing effects of the middle classes arriving in working-class neighbourhoods
and was researched in that critical spirit for many years"

--Slater (2006) dalam "The eviction of critical perspectives from gentrification research"--

Slater (2006) memberikan kritik terhadap literatur-literatur yang membahas gentrifikasi. Menurutnya perspektif kritis atas terjadinya gentrifikasi telah menghilang dari literatur-literatur tersebut. Pembahasan dalam topik gentrifikasi lebih berkutat pada apa yang menjadi penyebab atau faktor pendorong gentrifikasi. Pertanyaan mengenai efek dari gentrifikasi jarang menjadi fokus pembahasan di dalam tema gentrifikasi. Lebih jauh lagi, apakah proses gentrifikasi tersebut menyebabkan terjadinya displacement atau keterusiran, tidak pernah dijadikan sebagai pertanyaan penelitian ketika membahas tentang gentrifikasi.

Apakah sebenarnyagentrifikasi?

Moore (2015) mendefinisikan gentrifikasi sebagai sebuah proses sosial ekonomi di dalam suatu kawasan, dimana masyarakat yang berasal dari golongan dengan latar belakang ekonomi yang lebih tinggi, masuk di kawasan tersebut. Proses gentrifikasi ini umumnya diikuti oleh upgrading terhadap suatu area serta keterusiran yang dialami oleh penghuni semula, yang sebagian besar merupakan masyarakat dengan kelas ekonomi yang lebih rendah ketimbang kelompok masyarakat yang baru datang tersebut.

Fenomena gentrifikasi lazim terjadi di kawasan-kawasan yang berada di sekitar Central Business District (CBD) yang mengalami penurunan nilai ekonomi dan estetik. Dalam Evans (2004), disebutkan bahwa gentrifikasi ini terjadi di zona-zona transisi yang berada di luar kawasan CBD dalam struktur ruang kota yang konsentris. Zona-zona transisi ini berisi guna lahan campuran (permukiman dan komersial), yang banyak dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak mampu meng-cover biaya transportasi jika harus tinggal berjauhan dari CBD.

Gentrifikasi umumnya ditandai dengan beroperasinya aktivitas ekonomi yang mendadak booming, dan diikuti oleh masuknya orang-orang dari kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi ke dalam suatu kawasan. Mengingat bahwa kota pada hakikatnya merupakan arena kompetisi (Scott dan Storper, 2014), orang-orang dengan tingkat sosial dan ekonomi yang lebih tinggi tersebut mampu memenangkan "persaingan" untuk mengakuisisi dan menggunakan properti yang pada awalnya dihuni oleh orang-orang dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah.

Pada tahap inilah kemudian, orang-orang yang awalnya mampu mengakses properti di suatu kawasan menjadi terusir karena tidak mampu membayar biaya sewa yang melonjak tinggi di kawasan-kawasan yang mengalami gentrifikasi.

Debat di ranah akademis terjadi, terutama terkait efek dari fenomena gentrifikasi. Perdebatan ini berada di antara dua kutub utama: yang memandang sisi positif dari gentrifikasi, serta yang memandang gentrifikasi sebagai sebuah fenomena yang memberikan dampak sosial ekonomi yang negatif.

Bagi pendukung gentrifikasi, fenomena ini identik dengan peningkatan image dan nilai ekonomi di suatu kawasan. Moore(2015) menguraikan pendapat dari beberapa penulis terdahulu mengenai dampak positif dari gentrifikasi, di antaranya terciptanya social mixing, penciptaan lapangan pekerjaan baru, dan peningkatan aktivitas ekonomi di suatu kawasan. Sementara di sisi yang lain, gentrifikasi identik dengan keterpinggiran atau keterusiran. Kedua hal inilah-keterpinggiran dan keterusiran- yang menjadi argumen utama bagi pihak-pihak yang melawan fenomena gentrifikasi.

Keterpinggiran atau keterusiran sebagai dampak dari gentrifikasi memang sesuatu yang tidak mudah untuk ditakar. Kesulitan ini diakui oleh rekan penulis yang pada waktu itu hendak meneliti mengenai gentrifikasi dan displacement di Kop van Zuid, Rotterdam. Kesulitan yang sama juga diakui oleh seorang rekan dari IHS Erasmus Universiteit Rotterdam yang mencoba mengidentifikasi jejak-jejak gentrifikasi di Kawasan Kotagede Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun