Mohon tunggu...
AYE Pramana
AYE Pramana Mohon Tunggu... Dosen - Urban Scholar, Lecturer, Football Lover

Pemerhati masalah perkotaan (belum pantas menyebut diri sebagai Urban Planner), dosen PTS di Jogja, Pecinta Sepakbola (bukan pemain sepakbola)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melacak Jejak Gentrifikasi dan Keterpinggiran di Jogja

6 April 2018   12:29 Diperbarui: 6 April 2018   12:38 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gentrifikasi sendiri saat ini tengah dirasakan mulai melanda Yogyakarta. Setidaknya begitu yang diungkap oleh Tirto.id dalam artikel "Sekarang Yogya Bukan Kota Pelajar Tapi Kota Mal dan Hotel" yang ditulis oleh Ardhito Bhinadi pada tahun 2017 yang lalu. Meningkatnya jumlah mahasiswa yang memilih Yogyakarta sebagai tempat studi telah membawa masyarakat dengan kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi masuk ke Jogja. Jogja masih menjadi magnet bagi pelajar di seluruh penjuru Nusantara sebagai tempat untuk melanjutkan studi. Masuknya kalangan mahasiswa ini membuka ceruk pasar yang dapat dieksploitasi. Maka tidak heran paska 2006, mall, hotel, dan kost eksklusif menjamur di Jogja.

Suatu kota memang pada hakikatnya terus bertumbuh. Pertumbuhan kota Jogja dapat dipandang ke dalam dua sisi. Ia dapat dipandang secara positif karena pertumbuhannya mampu membangkitkan aktivitas-aktivitas ekonomi di Jogja, terutama di sekitar kawasan kampus. Pertumbuhan itu juga merupakan berkah, karena pada kenyataannya tidak semua kota memiliki peluang untuk bertumbuh dengan skala dan intensitas yang sama. Namun pertumbuhan itu selalu memiliki sisi negatif, terutama berupa keterpinggiran dan keterusiran warga masyarakat yang secara sosial dan ekonomi kalah jauh dibandingkan para pendatang baru yang masuk ke Jogja.

 Fakta berupa tingginya rasio gini di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (sebesar 0,43), serta semakin tidak terjangkaunya harga properti di Jogja kiranya membunyikan alarm tanda bahaya bagi masyarakat Jogja, bahwa fenomena gentrifikasi mungkin suatu saat dapat menyapu Kota Jogja di masa yang akan datang. Arus masuknya orang-orang dari kelas sosial ekonomi baru tersebut tidak mungkin dicegah memang. Maka setidaknya masih ada upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keterpinggiran secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal dan hidup di Jogja.

Referensi:

1. Moore, Russel David. 2015. Gentrification and displacements: The impacts of mass transit in Bangkok. Urban Policy and Research DOI: 10.1080/08111146.2015.1028615

2. Slater, Tom. 2006. The Eviction of Critical Perspective from Gentrification Research. International Journal of Urban and Regional Research. Volume 30.4 December 2006.

3. Evans, A. W. (2004) 'Land Values, Rents and Demand', dalam Economics, Real Estate, and the Supply of Land. Oxford: Blackwell Publishing, pp. 11--29.

4. Scott, A. J., & Storper, M. (2015). The nature of cities: The scope and limits of urban theory. International Journal of Urban and Regional Research, 39(1), 1--15. https://doi.org/10.1111/1468-2427.12134
5. http://jogja.tribunnews.com/2018/01/03/gini-ratio-diy-berbanding-terbalik-dengan-indeks-kebahagiaan

6. https://tirto.id/sekarang-yogya-bukan-kota-pelajar-tapi-kota-mal-dan-hotel-cpqZ

(Tulisan ini dipresentasikan dalam kegiatan diskusi "Kala Jogja Tak Bisa Berhenti Bersolek: Fenomena Gentrifikasi di Kota Jogja" yang diselenggarakan oleh IMPULSE di Anomie Coffee pada hari Kamis, 5 April 2018). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun