Kebiasaan buruk mahasiswa pada umumnya adalah ketika berhadapan dengan laptop untuk mengerjakan tugas, maka godaan untuk berselancar di dunia maya menjadi lebih besar. Begitu pula yang terjadi dengan saya. Kurang dari dua minggu saya harus mengumpulkan proposal tesis bertema Land Value Capture, isu yang belakangan jadi perdebatan serius karena dianggap bisa membantu pemerintah daerah untuk menyediakan infrastruktur bagi warganya. Namun godaan untuk membuka facebook jadi menguat karena pikiran mulai mentok (padahal belum bikin apa-apa :P). Hingga pada akhirnya saya menemukan sebuah postingan dari seorang kawan.
Isi postingannya sederhana. Alkisah, ban motornya bocor hingga ia terpaksa menambal ban sepeda motornya di tukang tambal ban (ya iyalah masak di tukang jahit -___- ). Di bengkel mini milik tukang tambal ban itu ada seorang anak kecil, yang konon adalah anak si tukang tambal ban. Si anak itu asyik bermain di bengkel mini itu meskipun sudah berkali-kali diperingatkan oleh emaknya. Syahdan, si anak itu tidak sengaja terjatuh dan akhirnya menyenggol deretan sepeda motor yang menunggu untuk ditambal oleh bapaknya, sehingga beberapa motor terjatuh dan menimpa si anak. Si anak berusaha tidak menangis dan bangkit lagi, dan yang membuat si kawan terkejut, emaknya bukannya menolong, namun malah memarahi si anak dan menamparnya.
Well, kisah itu membuat saya jadi bersimpati kepada si anak. Dan berhubung saya sedang belajar soal Land Value Capture, saya jadi ingin membuat tulisan untuk (setidaknya) mengingatkan pemerintah daerah mengenai pentingnya Land Value Capture ini.
Secara ringkas Land Value Capture adalah mekanisme untuk “mengambil” sebagian kenaikan nilai dari tanah akibat investasi public yang dilakukan oleh pemerintah. Gampangnya begini: ada sebidang tanah yang awalnya berharga Rp. 50,00. Kemudian pemerintah berbaik hati dan membangun jalan yang bersentuhan dengan bidang tanah tersebut. Harga tanah jadi naik karena sekarang tanah tersebut memiliki akses. Katakanlah harga tanah itu kemudian menjadi Rp. 200,00, karena tanah yang awalnya kurang memiliki nilai ekonomis kini memiliki nilai ekonomis berkat keberadaan jalan itu. Artinya harga tanah mengalami kenaikan Rp. 150,00. Nah kenaikan itulah yang seharusnya ditangkap pemerintah, baik sebagai cost recovery atas biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalan tersebut maupun untuk menyediakan infrastruktur lain di tempat yang lain. Contoh di atas adalah bentuk gampang dari Land Value Capture. Bentuk lainnya adalah dengan memberikan keharusan kepada pengembang untuk menyediakan lahan terbuka hijau, misalnya, karena tidak setiap jengkal tanah harus digunakan untuk menciptakan income. Dengan menyediakan taman, misalnya, ada sebagian nilai tanah yang ditransfer dari developer kepada public untuk digunakan bagi kepentingan public pula.
[caption caption="doc.pribadi"][/caption]
(Kalau masih bingung dengan penjelasan ini tak apa. Bahkan saya yang sudah belajar hampir 3 bulan mengenai konsep ini juga masih belum sepenuhnya ngerti hehehe).
Kembali ke kisah si anak di bengkel motor nan syahdu tadi. Apa yang menimpa si anak tadi ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah tidak punya tempat untuk bermain sehingga harus bermain di bengkel yang sempit (walaupun sejatinya hakikat seorang anak adalah bermain di alam bebas), masih dimarahi oleh orangtuanya pula. Padahal bisa saja si anak terpaksa bermain di bengkel ayahnya karena dia tidak punya pilihan tempat bermain yang lain di luar rumah, karena semua lahan di sekitar rumahnya sudah habis untuk dieksploitasi.
Inilah salah satu dampak dari pembangungan yang tidak berimbang, bahasa Inggrisnya inequitable development, isu yang belakangan lagi marak dibicarakan di Yogyakarta, tempat kejadian perkara si anak kecil yang jatuh dan tertimpa motor tadi. Hakikat pasar dimana-mana sama, bekerja atas dasar mekanisme demand and supply, meraih hasil optimal dengan mengeluarkan sumber daya se-efisien mungkin. Kata penganut faham ekonomi liberal, the invisible hand dari kekuatan pasar itulah yang nantinya akan menghasilkan kemakmuran bagi the whole society. Namun dimana-mana pula jejak-jejak ketidakadilan selalu dapat ditemukan sebagai akibat dari kegagalan mengendalikan perilaku beringas pasar.
Rasanya tidak perlu mengajukan argument mengenai sustainability, ketersediaan sumberdaya di masa yang akan datang bagi generasi penerus, untuk menggugat ketidakadilan pembangunan yang terjadi di Kota Istimewa ini. Di depan mata dampak pembangunan yang tidak berkeadilan itu sudah tampak nyata. Anak-anak tidak lagi punya tempat bermain, warga hidup dengan dihimpit oleh ketidaknyamanan, rumah menjadi tidak terjangkau karena harganya melambung terlampau tinggi, sementara pemerintah daerah menjadi pihak yang tidak berdaya karena pembangunan yang terjadi Cuma menyisakan sedikit untuk digunakan bagi pembangunan infrastruktur, dan pada akhirnya harus bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
[caption caption="http://jogjapos.com/hotel-harus-beri-kompensasi-pada-warga-jogja/"]
Kejadian di bengkel kecil ini kiranya bisa jadi alarm tanda bahaya bagi pemerintah daerah, terutama yang berurusan dengan daerah di area Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta. Kongkalikong dengan pasar harus disudahi. Tenggelam dalam mekanisme demand and supply sudah merebut hak warga, dan terutama anak-anak. Pemerintah perlu memegang kekang atas pasar, bukan sekedar menyiapkan infrastruktur yang manfaatnya dieksploitasi habis oleh kuasa pasar. Ia perlu berdiri di tengah untuk menjadi mediator atas konflik kepentingan antara pasar dan masyarakat untuk berebut hak atas ruang demi terciptanya tata ruang yang berkeadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H