Mohon tunggu...
AYE Pramana
AYE Pramana Mohon Tunggu... Dosen - Urban Scholar, Lecturer, Football Lover

Pemerhati masalah perkotaan (belum pantas menyebut diri sebagai Urban Planner), dosen PTS di Jogja, Pecinta Sepakbola (bukan pemain sepakbola)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Reka-reka Kategori Klub Profesional di Indonesia

27 Februari 2015   23:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:24 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat Jumat Siang....

Logo BOPI

(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Olahraga_Profesional)

Mumpung masih hangat-hangatnya pembahasan soal verifikasi klub-klub ISL oleh BOPI, saya tergoda untuk ikut urun rembug. Hitung-hitung tulisan ini jadi pembuka bagi puasa menulis (padahal nggak sempat menulis) di kanal bola Kompasiana ini sejak kasus sepakbola gajah yang lalu.

Isu mengenai profesionalisme klub sepakbola di Indonesia ini sebenarnya sudah sejak tahun 2011 sering saya angkat dalam tulisan-tulisan saya. Namun rupanya persoalan profesionalisme klub sepakbola ini belum menjadi bahan diskusi yang seksi bagi mayoritas penghuni kanal bola Kompasiana. Mungkin, sekali lagi mungkin, jumlah penonton yang hadir di stadion (tanpa peduli apakah pemasukan dari tiket benar-benar cukup untuk membiayai operasional pertandingan- kita belum berbicara soal operasional klub), tayangan langsung di televisi yang hampir setiap hari (tanpa peduli apakah dari siaran langsung itu klub mendapatkan haknya atas fee siaran langsung), dan logo-logo sponsor yang tertempel di jersey (tanpa peduli apakah logo tersebut tertempel di jersey karena klub yang bersangkutan benar-benar punya nilai potensial atau tidak) sebagai kriteria untuk mengukur apakah sebuah klub bisa disebut sebagai klub sepakbola profesional. Kenyataannya, profesionalisme klub sepakbola itu harusnya dibuktikan melalui sebuah lisensi dan untuk meraih lisensi tersebut terdapat seperangkat persyaratan yang harus dipenuhi.

Katanya, sekali lagi katanya, upaya untuk membangun profesionalisme kompetisi dan klub sepakbola di Indonesia sudah dimulai sejak ISL bergulir pada tahun 2008. Entah kenapa tiba-tiba BOPI me-release pemberitaan bahwa ternyata sebagian besar klub sepakbola di ISL belum sepenuhnya memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk dapat disebut sebagai klub sepakbola profesional. Entah karena BOPI mengada-ada, entah karena PSSI kelupaan mengurus persoalan yang satu ini karena selama bertahun-tahun “berjuang” untuk mengukuhkan legitimasi mereka terhadap satu-satunya daulat federasi sepakbola di negeri ini, atau menjadi profesional belum menjadi kebutuhan bagi pelaku sepakbola di negeri ini. Bukan ranah saya untuk menjustifikasi hal tersebut. Saya Cuma iseng-iseng mengelompokkan klub-klub sepakbola di Indonesia berdasarkan tingkat profesionalisme mereka. Tulisan ini adalah tulisan seadanya dan murni opini pribadi, jadi jika ada yang namanya disebut ataupun tidak disebut, mohon jangan tersinggung.

1.Klub Sepakbola Profesional

Persib Bandung

(sumber: http://sejarahku.co/arsip/transfer-persib-2015/)

Di kategori ini tidak banyak klub yang bisa dimasukkan. Tapi pertama-tama, nama Persib Bandung, juara ISL musim lalu harus menjadi nama pertama yang disebut dalam kategori ini. Tidak ada yang dapat membantah bahwa Persib adalah salah satu klub sepakbola profesional. Padahal jika tahu perjalanan mereka dalam berkompetisi, saya merasa miris ketika nasib Persib berada di ujung tanduk saat musim kompetisi 2003 bergulir. Mereka nyaris terdegradasi ke Divisi Utama. Namun perlahan-lahan mereka berhasil mengembalikan kejayaannya di kancah kompetisi sepakbola nasional. Nama lain yang masuk ke kategori ini adalah ex-juara IPL, Semen Padang. Klub ini boleh dibilang setengahnya adalah klub plat merah karena merupakan anak dari sebuah perusahaan BUMN. Soal profesionalisme, mereka boleh dibilang berada di garis terdepan. Kedua klub yang saya sebut itu, Persib dan Semen Padang, punya finansial yang kuat, manajemen yang rapi, infrastruktur yang layak, plus didukung keberadaan akademi untuk pemain muda. Satu nama lagi yang bisa dimasukkan dalam kategori ini adalah Produta, klub yang dimiliki Sihar Sitorus. Dari segi pengelolaan, mereka bisa dibilang sudah cukup profesional. Hanya saya sendiri belum dapat data apakah mereka juga melakukan pembinaan pemain secara berkelanjutan melalui akademi.

2.Klub Sepakbola (Mungkin) Profesional

Pertandingan Persipura vs Mitra Kukar

(sumber: http://12paz.blogspot.com/2011/12/mitra-kukar-vs-persipura-1-2-gagal.html)

Klub-klub di kategori ini mungkin sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam golongan klub profesional. Namun profesionalisme mereka perlu sedikit dipertanyakan terkait aspek keberlanjutan finansialnya. Klub-klub yang masuk di kategori ini di antaranya Persipura Jayapura, Sriwijaya FC, dan Mitra Kukar. Persipura, tidak ada yang meragukan kekuatan finansialnya. Namun yang jadi pertanyaan, darimanakah sumber-sumber finansial yang kuat itu berasal? Salah satu sumber pendanaan Persipura adalah dari Freeport. Kita sama-sama tahu lah, bagaimana perilaku bisnis Freeport di Papua. Jadi, bisa dibilang, dana dari Freeport ini adalah cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengambil hati masyarakat Papua. Soal ini sudah pernah saya angkat dalam tulisan saya untuk tugas kuliah saya. Alasan senada berlaku untuk Sriwijaya FC dan Mitra Kukar. Bisa dibilang, ada perusahaan tambang yang berada di belakang pendanaan tim ini. Seperti saya bilang, klub-klub di kategori ini sebenarnya boleh dibilang profesional. Namun yang dipertanyakan adalah soal dari mana asal pendanaannya, karena begitu perusahaan-perusahaan tambang tersebut sudah merasa tidak perlu “mengambil hati” masyarakat di sana, maka bisa diprediksi bila akhirnya pendanaan terhadap klub sepakbola yang menjadi ikon daerah pun ikut berhenti.

3.Klub Sepakbola (Kayaknya) Profesional

Persebaya vs Arema

(sumber: http://www.wearemania.net/nasional/5405-inilah-pembagian-grup-inter-island-cup-2014)

Nah di kategori ini ada klub “kembar tiga” yang kita sama-sama tahu siapa orang yang ada di baliknya. Mereka adalah Pelita Bandung Raya, Persebaya Cronous yang bukan 1927, plus Arema Cronous. Orang di balik ketiga klub ini tampaknya orang yang romantis dan gemar bernostalgia, sehingga yang diakuisisi adalah klub-klub yang punya masa lalu yang jaya. Pelita Bandung Raya dibuat untuk membangkitkan romantisme akan Manstrans Bandung Raya. Persebaya Cronous berupaya merebut hegemoni Persebaya 1927 yang sudah terlanjut melekat di hati arek-arek Suroboyo. Sementara Arema Cronous yang didirikan pada tahun 2013, perlahan-lahan menenggelamkan ingatan kera-kera Ngalam tentang Arema yang sejatinya berdiri pada tahun 1987. Seharusnya ketiga klub ini tidak boleh bermain dalam kompetisi yang sama, karena salah satu syarat kompetisi profesional adalah tidak boleh ada dua atau lebih klub yang dimiliki oleh institusi/orang yang sama bermain dalam satu level kompetisi domestik. Namun, karena namanya saja Indonesia, apapun bisa terjadi dan oleh karena itulah saya sangat cinta pada negeri ini. Ujung-ujungnya, dua dari tiga klub tersebut terpaksa menunggak gaji dan bahkan ada salah satu yang terang-terangan memakai NPWP klub lain yang notabene sudah almarhum sebagai bukti bahwa mereka sudah membayar pajak. Saran saya, kalau memang terlalu berat mengurus 3 klub, mbok ya salah satu atau salah dua dilepas. Saya yakin kok banyak orang di Bandung, Surabaya, dan Malang yang sanggup mengurus klub-klub ini menjadi klub sepakbola profesional. Toh Pemilu dan Pilpres juga sudah lewat.....

4.Klub Sepakbola (Menuju) Profesional

PSS Sleman Pra Musim 2015

(sumber: http://forzasleman.blogspot.com/2015/02/nego-ulang-10-pemain-deal.html)

Klub-klub di kategori ini masih bisa dibilang belum profesional, namun upaya-upaya yang dilakukan oleh manajemen klub perlahan-lahan akan mampu membawa klub ini menjadi sebuah klub profesional. Biasanya klub-klub yang masuk kategori ini adalah klub-klub yang sempat kolaps besar-besaran dan berupaya bangkit tanpa harus menyusu pada dana APBD. Sebenarnya banyak klub di Indonesia yang masuk di kategori ini. Namun saya akan menyebut 2 contoh saja, yakni Persiba Bantul dan PSS Sleman. Persiba Bantul hancur-hancuran paska IS, orang penting di tubuh Persiba terjerat kasus korupsi. Namun manajemen mereka perlahan mulai bergerak untuk membawa Persiba menjadi sebuah klub profesional. Sistem pembinaan pemain berkelanjutan sudah mulai dilakukan dan infrastruktur yang mereka miliki juga cukup layak untuk level nasional. Dengan menjadi klub profesional, dipastikan Persiba tidak akan lagi mengandalkan saweran dari PNS di lingkungan Pemkab Bantul untuk membiayai operasional mereka. Lantas kenapa PSS Sleman masuk di kategori ini? Itu karena saya adalah pendukung PSS, dan karena ini adalah tulisan saya, tentu saja saya bebas untuk memasukkan klub kebanggaan saya di kategori ini hehehehe. PSS Sleman mulai berbenah paska dihempas kasus sepakbola gajah. Setelah dilanda konflik internal, musim ini PSS berbenah. Dibandingkan 3 klub sepakbola yang ada di DIY, PSS Sleman memiliki dukungan finansial yang paling kuat. Musim ini, manajemen tidak hanya membentuk tim PSS untuk level divisi utama, melainkan juga membentuk PSS U-16, PSS U-18, dan PSS 1976 yang bermaterikan pemain-pemain hasil kompetisi amatir lokal dan akan terjun di Liga Nusantara.

5.Klub Sepakbola Tidak Profesional

Sangat banyak klub sepakbola di Indonesia yang masuk di kategori ini. Bagi yang memang terjun di level kompetisi amatir, boleh diberi pemakluman dengan harapan ke depan manajemen tim mau berbenah. Tapi yang sudah terlanjur nangkring di level Divisi Utama ke atas, saran saya sebaiknya klub-klub semacam ini mawas diri. Tujuan sepakbola bukan semata-mata memberikan hiburan murah meriah bagi suporter, apalagi menjadikan pertandingan sepakbola sebagai ajang kampanye politik. Sepakbola menyangkut nyawa ribuan pemain yang menggantungkan hidup di dalamnya. Suporter klub yang masuk dalam kategori ini sebaiknya juga mawas diri, sehingga bisa mendukung upaya klub kebanggaannya untuk menjadi klub profesional. Tidak perlu saya sebut secara gamblang siapa-siapa saja klub yang masuk di kategori ini. Namun sebuah klub yang minggu lalu masuk berita di Kompas karena asupan gizi pemainnya justru dicukupi oleh warteg di depan mess klub, dan bahkan pemain-pemainnya harus berhutang pada pemilik warteg, serta sebuah klub yang mess-nya menempati bangunan bersejarah bagi PSSI dan musim 2012 lalu aliran listrik dan airnya diputus karena manajemen lalai membayarkan kewajibannya kepada PLN dan PDAM dapat menjadi contoh.

Bukan bermaksud meninggikan salah satu pihak dan merendahkan pihak lainnya. Namun upaya klub untuk menjadi profesional harus didukung oleh semua pihak, baik manajemen, pemain, suporter, dan pastinya federasi. Saya kira kita semua sudah cukup muak mendengar berita mengenai kegagalan demi kegagalan Timnas kita di level kompetisi antar negara. Satu-satunya solusi adalah: membangun profesionalisme kompetisi dan klub sepakbola di negeri ini. Titik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun