Hadits adalah sumber hukum keagamaan dalam Islam selain Kitab Suci Al-Qur'an. Dalam hukum, hadits digunakan sebagai pedoman untuk memahami dan menerapkan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Dibawah ini akan dijelaskan tentang pengertian hadits sebagai penguat hukum dari beberapa aspek utama.
1.Definisi Hadis
Umumnya, hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, seperti perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat fisik atau akhlak. Hadis adalah pesan, saran, dan contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW yang menjadi pedoman bagi umat Islam setelah Al-Qur'an.
2.Contoh hadits yang terkenal misalnya:
"Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. Hadits Bukhari dan Muslim mengajarkan betapa pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Sumber Hukum Islam
Dalam syariat Islam, terdapat dua sumber hukum utama, yaitu:
- Al-Qur'an: Kitab suci umat Islam yang menjadi dasar dan pedoman utama dalam segala aspek kehidupan.
- Hadits: Penjelasan lebih lanjut dari Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Walaupun Al-Qur'an adalah sumber utama, banyak hukum dan aturan membutuhkan penjelasan lebih lanjut dari hadits. Al-Qur'an menyediakan dasar hukum, sementara hadits memberikan penjelasan dan contoh konkret dari hukum-hukum tersebut. Misalnya, Al-Qur'an memerintahkan shalat, tapi detail seperti jumlah rakaat, bacaan, dan waktu shalat dijelaskan dalam hadits. Fungsi Hadits sebagai Penguat Hukum
Sebagai penguat hukum, hadits memiliki beberapa fungsi penting:
a. Menjelaskan tentang Al-Qur'an:
Hadits berfungsi untuk memberikan penjelasan tambahan mengenai ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur'an. Banyak ayat yang bersifat umum dalam Al-Qur'an membutuhkan penjelasan dan penafsiran dari Rasulullah SAW. Misalnya, ada ayat yang menyuruh umat Islam untuk melaksanakan shalat.
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat." (QS. Al-Baqarah: 43)
Namun, tidak dijelaskan secara rinci tata cara shalat dalam ayat tersebut. Hadits memberikan penjelasan mengenai tata cara shalat, jumlah rakaat, dan berbagai ketentuan lainnya. Contoh hadits terkait:
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Bukhari)
b. Menetapkan Praktik Ibadah dan Muamalah
Hadits menjadi sumber penetapan hukum dalam berbagai aspek ibadah, seperti puasa, zakat, dan haji, serta aspek muamalah (interaksi sosial), seperti jual beli, pinjaman, dan hutang-piutang.
Contoh: Dalam hadits tentang zakat, Nabi Muhammad SAW menjelaskan jenis-jenis barang yang wajib dizakati dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Hal ini melengkapi perintah zakat yang ada dalam Al-Qur'an.
 c. Menunjukkan Ketetapan Hukum
Beberapa aturan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dijelaskan melalui hadits. Misalnya, hukuman bagi pencurian atau ketentuan terkait pernikahan yang lebih spesifik dijelaskan dalam hadits.
Contoh: Dalam kasus pernikahan, hadits menyebutkan tentang kriteria calon pasangan yang baik:
"Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung." (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Kedudukan Hadits dalam Hukum Islam
Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam sangat tinggi, namun tidak semua hadits memiliki derajat yang sama. Berdasarkan kualitas dan keotentikannya, hadits dibagi menjadi beberapa kategori:
- Hadits Sahih: Hadits yang kuat dan dapat dipercaya, berdasarkan sanad (rantai perawi) yang terpercaya, muttasil (sambung), dan tidak mengandung syadz (kejanggalan).
- Hadits Hasan: Hadits yang sanadnya kurang sedikit dari sahih, tetapi tetap diterima dan dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.
- Hadits Dha'if: Hadits yang lemah karena adanya cacat dalam sanad atau matan (isi hadits), sehingga tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum.
Hanya hadits yang sahih dan hasan yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum Islam. Para ulama melakukan kajian kritis terhadap sanad dan matan untuk memastikan keabsahan hadits sebelum menggunakannya sebagai landasan hukum.
5. Proses Istinbat Hukum
Dalam menetapkan hukum, para ulama menggunakan metode istinbat, yaitu proses penarikan hukum dari Al-Qur'an dan hadits. Proses istinbat ini melibatkan beberapa langkah:
 a. Mengumpulkan Dalil
Ulama akan mengumpulkan semua dalil dari Al-Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
 b. Menganalisis dan Menafsirkan
Dalil yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dan ditafsirkan sesuai dengan konteksnya, mengacu pada pemahaman yang mendalam terhadap bahasa Arab, konteks sejarah, dan maksud syariat.
c. Mengeluarkan Ketetapan Hukum
Setelah melalui analisis yang mendalam, ulama menetapkan hukum yang diambil dari kombinasi antara Al-Qur'an, hadits, ijma' (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi hukum).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H