Mohon tunggu...
Yuma Winata
Yuma Winata Mohon Tunggu... -

Small steps for a better world.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyelesaikan Kisruh Polri dan KPK; Jokowi Perlu Belajar Kepada Effendi Gazali

2 Februari 2015   20:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:56 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir tiga minggu kisruh antara Polri KPK bergulir, tapi belum terlihat tanda tanda penyelesaian yang jelas. Masalah yang awalnya mencuat karena calon kapolri pilihan presiden jokowi yang ditetapkan sebagai tersangka oleh kpk. Tapi bila dirunut lebih jauh sebenarnya kejadian ini tidak lepas dari pola komunikasi politik Jokowi yang buruk.

Pentingnya komunikasi politik

Tidak bisa dipungkiri Presiden adalah jabatan politik. Segala tindak tanduk dan keputusan seorang presiden akan dikaitkan dengan sisi politiknya. Segala ide-ide, pemikiran, orang-orang yang berada di lingkaran pemerintahannya dan bahkan dengan siapa dia bertemu akan diamati oleh publik dan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat politik. Jadi bila seorang presiden tidak hati-hati menempatkan dirinya dihadapan publik maka publik bisa salah menangkap pesan yang disampaikan baik secara sengaja ataupun tidak oleh sang presiden.

Dalam hal penunjukan seorang pejabat publik misalnya, yang akan menjadi pelaksana dari segala kebijakan yang digariskan oleh presiden, maka perlu dilihat dari sudut komunikasi politik pesan apa yang hendak disampaikan presiden.

Pola komunikasi Jokowi

Pola komunikasi politik Jokowi sebenarnya belum terlihat polanya secara jelas. Jika diawal kemunculannya yg meroket dia dicitrakan sebagai sosok yang sederhana, merakyat, dan pro membela kepentingan rakyat, maka akhir-akhir ini kesan tersebut mulai terkesan tidak konsisten ditunjukkan oleh Jokowi.

Penaikan harga BBM, penunjukan pejabat publik dengan hanya mendasarkan pada faktor kedekatan akan ditangkap sebagai pesan yang tidak konsisten dengan yg dulu selalu didengung-dengungkan oleh Jokowi sewaktu masa kampanye.

Dalam hal penunjukan calon kapolri misalnya. Tidak terlihat pesan dan keinginan yang kuat dari Jokowi bahwa calon yang dipilihnya merupakan sosok yang tepat untuk memberantas korupsi yang memang harusnya sebagai motor utama penggerak penegakan hukum dan pemberantasan segala bentuk korupsi dimulai dari institusinya sendiri. Penunjukan calon yg dianggap publik bermasalah malah akan dianggap sebagai langkah mundur dari Jokowi.

Demikian pula bentuk keraguan Jokowi dalam penyelesaian kisruh Polri KPK akan ditangkap sebagai ketidaktegasan Jokowi dalam mengambil keputusan. Hal-hal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika beliau mahir memainkan komunikasi politik ke publik.

Disinilah perlunya kemampuan komunikasi politik dari seorang presiden agar niat nya yang murni untuk memperjuangkan Nawacita bagi rakyat (mudah-mudahan memang demikian) tidak ditangkap berbeda oleh rakyat.

Jangan tiru Megawati

Mantan presiden Megawati dikenal sebagai sosok yg legendaris dalam percaturan politik Indonesia, namun dalam sejarahnya banyak melakukan kesalahan komunikasi politik.

Mulai dari kegagalannya memanfaatkan momentum kemenangan PDIP setelah jatuhnya Soeharto untuk melapangkan jalannya menjadi Presiden, kesalahan dalam memperlakukan SBY sewaktu masih menjadi anggota kabinetnya yang berujung dengan naiknya popularitas Sby sehingga dengan mudah mengalahkan Megawati dalam dua kali pilpres. Padahal Ibu Mega sebenarnya memiliki kekuatan politik yang sangat potensial tapi gagal dioptimalkan karena kesalahan dalam komunikasi politik.

Belajarlah dari Effendi Ghazali

Ilmu komunikasi politik merupakan hal yang sangat fundamental bagi seorang yang berkecimpung dalam politik praktis. Baik itu seorang presiden, anggota parlemen, maupun para pimpinan partai politik, harus mahir dalam seni komunikasi politiknya.

Tidak salah bila penulis menganjurkan Pak Jokowi agar banyak belajar dari para pakar komunikasi Politik seperti Effendi Gazali atau pakar yang lain agar tidak menunjukkan pesan yang salah kepada publik dalam setiap tindakannya dalam memimpin negara. Kalau perlu dalam tim Wantimpres di masukkan seorang pakar komunikasi politik seperti Efrendi Ghazali.

Mudah-mudahan tidak ada lagi tindakan Pak Jokowi yang ditangkap sebagai blunder hanya karena salah dalam mengkomunikasikannya ke publik.

No more blunder Mr. Presiden.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun