Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa meskipun lahir dari "rahim" yang sama, ternyata ada banyak perbedaan antara Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Protestan.Â
Salah satu perbedaannya adalah jumlah Kitab Suci yang diterima. Perbedaan jumlah Kitab Suci itu khususnya ada dalam Perjanjian Lama. Gereja Katolik memiliki 46 kitab Perjanjian Lama sedangkan Protestan hanya 39 kitab.
Perbedaan jumlah kitab Perjanjian Lama antara Katolik dan Protestan ini sangat terkait erat dengan proses kanonisasi Kitab Suci. Maka untuk membahas perbedaan tersebut, kita harus ingat tentang kanon Kitab Suci.
Kata Kanon berasal dari bahasa Yunani yaitu "canon" yang artinya norma, ukuran dan pedoman. Sedangkan kitab-kitab yang berada dalam kanon disebut kitab-kitab kanonik, yakni kitab-kitab yang telah ditetapkan secara resmi sebagai kanon. Â Kitab-kitab kanonik tersebut diakui secara resmi sebagai Kitab Suci yang sah dan dijadikan sebagai patokan atau pedoman iman mereka.
Pada awalnya kitab-kitab  Perjanjian Lama itu ditulis dalam bahasa Ibarani. Setelah orang-orang Yahudi diusir dari tanah Palestina, mereka tinggal di berbagai tempat dan beranak-cucu di sana. Akibatnya, mereka kehilangan bahasa aslinya.Â
Banyak keturunan mereka tidak lagi menggunakan bahasa Ibarani, tetapi mereka lebih mengenal bahasa Yunani yang saat itu digunakan sebagai bahasa lintas bangsa (mungkin bisa dikatakan sebagai bahasa internasional saat itu). Â
Maka dari itulah mereka sangat membutuhkan terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Proyek penerjemahan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani mulai dikerjakan pada masa pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285-246 SM) oleh 70 ahli kitab Yahudi. Mereka adalah wakil dari 12 suku Israel, dan setiap suku diwakili oleh 6 orang ahli kitab.
Proyek penerjemahan ini dikerjakan sekitar tahun 150-125 SM, 25 tahun. Proyek ini dinamakan Septuagint (=septuaginta) yang berarti tujuh puluh (LXX) sesuai dengan jumlah penerjemahnya.Â
Kitab ini sangat populer dan dikenal sebagai kitab yang resmi. Kitab yang dihasilkan oleh proyek ini disebut Kanon Alexandria karena dikerjakan di Alexandria.Â
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah. Sebaliknya mereka terus berkembang. Â Pada tahun 100 sesudah Masehi, para imam Yahudi berkumpul di Jamnia, Palestina sebagai reaksi mereka terhadap perkembangan umat Kristen abad pertama itu.Â
Dalam pertemuan Jamnia itu mereka menetapkan berbagai hal, termasuk tentang kitab suci. Adapun beberapa penetapan mereka tentang Kitab Suci yaitu:
- ditulis dalam bahasa Ibrani;
- sesuai dengan Kitab Taurat;
- lebih tua dari Zaman Ezra (sekitar tahun 400 SM);
- ditulis di Palestina.
Setelah menetapkan kaidah-kaidah tersebut, bangsa Yahudi hanya menerima kitab-kitab yang memenuhi kriteria itu sebagai kanon. Mereka pun menetapkan kanon baru Kitab Suci Perjanjian Lama yang baru dan menolak tujuh kitab dari Kanon Alexandria yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 dan 2 Makabe, serta tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. Kanon baru yang ditetapkan itu dikenal dengan nama Kanon Jamnia.
Nah, Gereja (waktu itu masih satu) tidak mengakui kanon yang ditetapkan oleh para imam Yahudi itu. Gereja tetap menggunakan kanon Alexandria sebagai daftar kitab suci yang resmi.Â
Pada tahun 393 Masehi, Gereja menggelar pertemuan di Hippo yang dikenal dengan nama Konsili Hippo, dan pertemuan di Kartago (tahun 397) yang dikenal dengan nama konsili Kartago. Dari kedua konsili itu, Gereja secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari Kanon Alexandria sebagai kanon kitab-kitab Perjanjian Lama.Â
Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima oleh Gereja. Masing-masing kitab yang ditolak oleh Kanon Jamnia itu tadi dikutib oleh bapa-bapa Gereja sebagai Kitab Suci yang setara dengan kitab-kitab Perjanjian Lama. Bapa-bapa Gereja yang dimaksud antara lain: St. Polycarpus, St. Ireneus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus.Â
Ketika Gereja-Gereja Protestan lahir, mereka menggunakan kitab suci Perjanjian Lama versi Kanon Jamnia. Sedangkan ketujuh kitab yang tidak termasuk dalam kanon Jamnia mereka terima sebagai bacaan suci, namun bukan kitab suci.
Selanjutnya dalam Gereja Katolik, kanon pertama (Jamnia) dikenal dengan nama Protokanonika sebab kanon itu ditetapkan pada awal kekristenan. Sedangkan kanon yang menetapkan ketujuh kitab itu sebagai kitab suci dikenal dengan nama Deuterokanonika yang berarti kanon kedua.
Itulah sebabnya mengapa jumlah kitab suci Perjanjian Lama antara Gereja Katolik dan Protestan berbeda. Gereja Katolik memiliki 7 kitab Perjanjian Lama yang lebih banyak dari Protestan.
Penulis adalah Guru Agama Katolik di SMA Swasta Santu Xaverius Gunungsitoli, Sumatera UtaraÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI