Siapa sih yang tidak mengenal semut? Setiap orang pasti mengenal semut. Hampir setiap hari kita bertemu dengan semut. Ya, karena semut ada di mana-mana. Bahkan jika penasaran ingin melihat semut, cukup letakkan saja sesuatu yang manis.Â
Tidak akan lama, semut akan berdatangan. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan: "ada gula, ada semut". Semut selalu hadir dalam hidup kita, walaupun kita kadang tidak melihatnya. Tidak jarang juga kehadiran mereka cukup meresahkan, sebab mereka bisa merusak dan mengotori makanan atau minuman kita.
Walau tergolong kecil, semut ini dikenal sebagai binatang yang bersosial tinggi. Mereka suka membantu, dan setiap berjumpa mereka selalu bertegur sapa.Â
Bila berpapasan dengan temannya, mereka akan memberikan ciuman hangat. Betapa indah hidupnya. Pastinya disana ada kedamaian. Pastinya mereka tidak akan sombong apalagi egois.Â
Perhatikanlah jika satu ekor temannya mati, semut lainnya akan menggotongnya. Bahkan sering saya saksikan sendiri, ada ratusan ekor semut akan ikut berjalan menggotong satu temannya yang mati. Ini sangat luar biasa. Walau kecil, mereka sangat peduli satu sama lainnya.
Andai saja manusia seperti itu. Saling menolong, saling mendukung, saling memperhatikan, saling bertegur sapa, saling mencintai, pastinya hidup ini dipenuhi dengan kedamaian. Jika saja rasa sosial kita seperti semut, tentunya tidak ada yang saling menjatuhkan. Padahal manusia lebih dikenal sebagai makhluk sosial, bukan semut.
Ada satu hal lagi kehebatan semut. Mereka adalah makhluk yang gigih bekerja. Semut tidak pernah mengenal kata menyerah dalam hidupnya. Sering saya lihat semut menggotong beban yang berat. Walau tertatih-tatih, ia tidak akan menyerah.
Nabi Salomo memberi nasihatnya:Â
Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya,ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen (Amsal 6:6-8).
Nabi Salomo menilai semut sebagai binatang yang bijak dalam bekerja. Semut bekerja dengan gigih, tanpa harus diatur-atur atau diawasi. Rupanya, menurut Salomo, semut ini mampu bekerja secara merdeka. Dan memang demikian adanya. Oleh karena itu, Nabi Salomo memberikan nasihat kepada kita. Jika kita malas, belajarlah dari semut. Jangan sampai kita dikalahkan oleh semut.Â
Tapi, bicara tentang malas, apa sih kriterianya? Nah berikut beberapa Kriteria orang malas menurut Alkitab:
- Orang malas itu adalah orang yang terus menunda-nunda pekerjaannya yang seharusnya dikerjakan. Kalau kita membaca Amsal 22:13, di sana ada tertulis: "Si pemalas berkata: 'Ada singa di luar, aku akan dibunuh di tengah jalan.'" Tentu saja ini hanyalah alasan si pemalas. Secara logika, bagaimana dia bisa tau bahwa di luar ada singa sementara dia tidak keluar. Hehehe... Intinya, pemalas itu selalu mencari-cari alasan untuk menunda pekerjaannya. Kadang kita juga demikian. Nanti aja deh, toh masih ada waktu; kerjanya nanti aja deh, toh tidak menumpuk; pengen kerjakan tapi tidak tau bagaimana, dan lain sebagainya. Apa pun alasannya, intinya kalau menunda-nunda pekerjaan  yang seharusnya dikerjakan, itu namanya pemalas.
- Orang malas itu adalah orang yang tidak menyelesaikan apa yang telah dimulainya. Nah, orang yang bekerja setengah-setengah juga orang malas loh. Kalau sudah memulai pekerjaan, ya dituntaskan. Jangan cari alasan untuk meninggalkannya di tengah jalan, biar tidak menyesal nantinya. Kitab Amsal mengatakan: "Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan memperoleh harta yang berharga" (Ams 12:27).
- Kriteria orang malas yang terakir menurut Alkitab adalah mengikuti jalan yang kurang mendapatkan kesulitan. Budaya instan, itulah istilah kerennya. Maunya segala yang dibutuhkan itu ada tanpa harus bekerja keras. Apakah budaya instan membawa kesuksesan? Lagi-lagi Kitab Amsal memberi nasihat: "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa" (Ams 20:4). Â Jika ingin menuai hasil, ya harus menabur benih. Jika tangan tidak bekerja, bagaimana mulut bisa mengunyah? Begitulah kira-kira kata orang tua zaman dahulu.
Nah, setelah melihat tiga kriteria di atas, apakah kita ini termasuk pemalas atau bukan? Jika kita memilii kriteria di atas, saatnya kita bangkit dan belajar dari si semut. Walau kecil, tetapi ia gigih. Jangan sampai kita kalah dari semut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H