Mohon tunggu...
Yulius Solakhomi Wau
Yulius Solakhomi Wau Mohon Tunggu... Guru - Gratias Deo

Catholic Religion Teacher and Pastoral Ministry Agent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bunuh Diri dalam Perspektif Gereja Katolik

3 Mei 2021   10:20 Diperbarui: 3 Mei 2021   11:23 10498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sondang Hutagalung, seorang mahasiswa yang tewas bakar diri dalam sebuah aksi demonstrasi di depan Istana Negara tahun 2011 (slideplayer.info)

HAMPIR setiap minggu media kita memberitakan berbagai kasus bunuh diri. Bunuh diri umumnya dilakukan karena depresi menghadapi berbagai masalah yang melilitnya, sehingga buntu pikiran dan gelap hati. 

Ada banyak masalah yang mendorong terjadinya bunuh diri, mulai dari masalah ekonomi, keluarga, pendidikan bahkan hal-hal yang sepele seperti tersinggung karena ejekan dan lain sebagainya. Pelaku bunuh diri juga bervariasi, mulai dari orang tua, orang muda, remaja bahkan beberapa kasus dilakukan oleh anak di bawah umur. 

Menurut data WHO (World Health Organization - Organisasi Kesehatan Dunia), bunuh diri telah menjadi masalah besar bagi kesehatan di negara maju dan menjadi masalah yang terus meningkat jumlahnya di negara berpenghasilan sedang dan rendah. Menurut data WHO, hampir 1 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri. Bahkan menurut berbagai riset, pada tahun 2020 tercatat sekitar 1,5 juta orang meninggal akibat bunuh diri.

Bunuh diri (suicide) merupakan tindakan seseorang yang dengan sengaja mengakhiri hidupnya. Kondisi ini berkaitan erat dengan kondisi kesehatan mental, seperti depresi, dan bisa terjadi dengan siapa pun. 

Faktor-faktor penyebab depresi antara lain kesulitan keuangan, atau masalah dalam hubungan interpersonal (keluarga, sosial, pacaran) sering menjadi penyebab depresi. Selain itu, bunuh diri juga bisa dipicu oleh masalah kesehatan, perjudian, bahkan  kecanduan terhadap minuman keras dan obat-obatan terlarang.

Namun selain karena depresi, beberapa orang memilih bunuh diri justru sebagai bentuk pengorbanan, untuk 'kepentingan' dirinya sendiri maupun orang lain. Yang menjadi pertanyaan, benarkah bunuh diri dibenarkan sekali pun dianggap sebagai pengorbanan? Kita juga bisa bertanya, apakah pengorbanan harus dinyatakan dengan bunuh diri? Kasus-kasus bunuh diri sebagai pengorbanan sering kita dengar. Bunuh diri jenis ini dilakukan sebagai ungkapan protes, bahkan sebagai aksi terorisme.

Sondang Hutagalung, seorang mahasiswa yang tewas bakar diri dalam sebuah aksi demonstrasi di depan Istana Negara tahun 2011 (slideplayer.info)
Sondang Hutagalung, seorang mahasiswa yang tewas bakar diri dalam sebuah aksi demonstrasi di depan Istana Negara tahun 2011 (slideplayer.info)

Situasi pasca pelaku terorisme melakukan aksi bom bunuh diri di depan gereja Katedral Makassar (kompas.com)
Situasi pasca pelaku terorisme melakukan aksi bom bunuh diri di depan gereja Katedral Makassar (kompas.com)

Dalam Kitab Suci (Alkitab), hidup digambarkan sebagai sesuatu yang suci. Kitab Suci mengatakan bahwa nyawa manusia tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang istimewa karena sifatnya yang pribadi. Nyawa manusia sangatlah berharga dan tidak ada satu pun yang dapat menggantikannya (lih. Markus 8:37). Orang mengisi masa hidupnya dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih, dan bersyukur kepada Tuhan bahwa ia 'boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan' (Mzm 56:14). 

Hidup fana menunjuk pada hidup di dalam perjumpaan dengan Tuhan, setelah ia melewati hidup yang fana ini. Kesatuan dengan Tuhan dalam perjumpaan pribadi memberikan kepada manusia suatu martabat yang membuat masa hidup sekarang ini sangat berharga dan suci. Hidup manusia di dunia ini sangatlah berharga. Maka, manusia tidak boleh menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri. Hanya Tuhan yang boleh mengambil kembali hidup manusia. 

Gereja Katolik mengajarkan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya (KGK 2280). Gereja Katolik tidak membenarkan dan tidak merestui bunuh diri. 

Alasan pertama yang paling masuk akal adalah alasan adikodrati, dalam hubungannya dengan Pencipta. Hidup dalam diri kita ini sesungguhnya bukanlah milik kita. Hidup hanyalah titipan dari Tuhan, sang pencipta dan pemilik sejati. Oleh karena itu, apa pun alasannya, manusia, siapa pun dia, tidak memiliki kuasa dan hak dalam mengakhiri hidupnya sendiri. Bunuh diri sama dengan membunuh orang lain, dan pelakunya dikenakan sanksi dosa berat, karena ia melawan Tuhan.  

Selanjutnya, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan: "Bunuh diri bertentangan dengan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan manusia. Itu adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Bunuh diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, dengan bangsa dan dengan umat manusia, kepada siapa kita selalu mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup" (KGK 2281). 

Maka, Alasan kedua, bersifat kodrati, alamiah dan sosial. Bunuh diri melawan kodrat mempertahankan hidup dan melanggar hukum cinta kepada diridan sesama (Mat 22:39). 

Setiap orang memiliki dorongan naluriah untuk mempertahankan hidupnya. Dorongan ini ada secara alami, terbawa sejak lahir dan ditanam oleh Tuhan sendiri. Orang normal akan sekuat tenaga untuk mempertahankan hidupnya. Secara sosial, bunuh diri memiliki akibat lanjutanyang tidak baik bagi orang-orang yang ada di sekitar pelaku, terutama keluarga. Selain berduka, kelarga juga akan menanggung malu.

Bunuh diri dengan alasan yang sangat mulia pun juga tidak dapat dibenarkan. Di sini berlaku hukum moral "tujuan tidak dapat menghalalkan segala cara". Sebaik apa pun tujuan, nyawa manusia tidak boleh dikorbankan untuk digunakan sebagai sarana mencapainya. Prinsip ini juga berlaku untuk orang lain. 

Kita tidak boleh mempermainkan hidup orang lain untuk tujuan kita semulia apa pun itu. Selain pelaku bunuh diri dianggap bersalah, orang yang membantu untuk bunuh diri juga bersalah.  Hal-hal yang dapat "meringankan" dosa akibat bunuh diri hanya beberapa kondisi nyata, seperti gangguang psikis berat, ketakutan besar, kesusahan atau penganiayaan serius. Bagi mereka yang mengalami kondisi ini akan ditinjau berdasarkan prinsip-prinsip moral yang berlaku. 

Gereja Katolik tetap menganjurkan kita untuk berdoa bagi keselamatan jiwa-jiwa saudara-saudari yang telah mengakhiri hidupnya sendiri secara tragis. 

Setiap orang tidak boleh tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri hidupnya. Dengan cara yang diketahui Allah, Ia masih dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk  bertobat supaya diselamatkan. Gereja berdoa bagi mereka yang telah mengakhiri hidupnya (KGK 2283). Kita tetap diajak mengimani 100% pada kerahiman Tuhan. Walau Tuhan maharahim, namun Tuhan pastinya tidak merestui bunuh diri.

(Berbagai sumber) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun