Harga barang secara umum terganggu stabilitasnya di tengah kondisi pandemi yang belum benar-benar membaik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya selisih antara inflasi dan deflasi di Indonesia berdasarkan kondisi di tiap kota yaitu sebesar 0,08%.Â
Deflasi terjadi di 51 kota di Indonesia, sedangkan di 39 kota mengalami inflasi. Serupa dengan BPS, Bank Indonesia mencatat inflasi IHK pada april 2020 sebesar 0,08% (mtm).
Dua kelompok, yaitu volatile food dan administered prices bahkan berada pada kondisi deflasi. Melambatnya permintaan domestik menjadi salah satu indikator yang menyebabkan terjadinya deflasi. Maka harga barang secara umum berada pada tingkat yang rendah dan jumlah uang yang beredar di masyarakat juga cenderung rendah.
Pada tahun 2020 dan 2021, Bank Indonesia menargetkan inflasi pada kisaran 3% 1%. Target inflasi tersebut dicapai dengan diberlakukannya sinergi bauran kebijakan untuk kembali meningkatkan permintaan domestik agar berada pada kondisi yang stabil. Tidak rendah, maupun tidak melonjak terlalu tinggi hingga menyebabkan inflasi melampai taget.Â
Namun dengan kondisi saat ini, Â dengan penyebaran Covid-19 di Indonesia yang terbilang masih cukup masif, kegiatan ekspor yang menjadi penopang dari rendahnya permintaan domestik tidak dapat berkerja dengan maksimal.
Ketidakpastian global mulai menurun, namun Indonesia yang masih menjadi negara terdampak Covid-19 dengan jumlah penderita yang cukup besar tidak dapat melakukan kegiatan perdagangannya seperti pada kondisi normal.Â
Ekspor maupun impor Indonesia terhambat. China dan Amerika Serikat, sebagai mitra dagang yang besar bagi Indonesia, cenderung membatasi perdagangannya. Selain itu, nilai tukar  yang terdepresiasi juga menjadi penyebab inflasi yang tidak pada targetnya.Â
Terdepresiasinya nilai tukar selama bulan April menyebabkan capital inflow menjadi tidak stabil. Namun seiring berjalannya waktu, dengan BI7DRR yang dipertahankan sebesar 4,5%, akan mendampak pada nilai tukar Rupiah perlahan mampu kembali stabil dan terapresiasi sedikit demi sedikit.
Akan tetapi, terapresiasinya nilai tukar Rupiah tidak serta-merta membuat kondisi perekonomian membaik. Kegiatan impor masih berada dalam kondisi yang tidak pasti.Â
Hal tersebut akan mendampak pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Sebab perdagangan internasional dan capital flow menjadi penyumbang yang cukup besar dalam NPI.
Untuk mempertahankan inflasi tetap rendah dan sesuai target, maka perlu adanya sinergi bauran kebijakan yang terdiri dari beberapa kebijakan di dalamnya. Kebijakan tersebut yaitu kebijakan moneter akomodatif, kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah (PUR), dan kebijakan pendukung lainnya seperti kebijakan pendalaman pasar keuangan (LPI Bank Indonesia, 2019).
Kebijakan moneter yang akomodatif dapat ditempuh melalui penetapan BI7DRR dan Giro Wajib Minimum (GWM) pada tingkat yang tepat, penguatan strategi operasi moneter yang sesuai dengan fundamental nilai tukar Rupiah untuk memperkuat mata uang tersebut, serta dibentuknya Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan TPID untuk pengendali inflasi tingkat daerah. TPI/TPID memiliki peran untuk mengawasi dan mendukung pencapaian inflasi yang sesuai dengan target.
Selain kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial juga memiliki peran penting dalam pengendalian stabilitas harga dan nilai tukar Rupiah berdasarkan aspek kehati-hatian.Â
Kebijakan makroprudensial bertujuan untuk menanggulangi ketidakstabilan sistem keuangan serta menjadi kebijakan alternatif ketika kebijakan moneter tidak mampu mengatasi risiko sistemik yang terjadi pada sistem keuangan. Sehingga, kebijakan makroprudensial tidak hanya fokus pada stabilitas nilai tukar Rupiah untuk menstabilkan harga, tetapi pada sistem keuangan secara keluruhan.
Stabilitas harga erat kaitannya dengan kondisi nilai tukar Rupiah. Maka dari itu, penguatan terhadap strategi operasi moneter harus terus didorong untuk mencapai nilai tukar Rupiah yang stabil.Â
Dalam kinerjanya, operasi moneter memiliki dua sisi yang berbeda atau disebut dengan two sided monetary operation yang terdiri dari injeksi dan absorbsi. Kedua sided tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk redistribusi likuiditas.Â
Operasi moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia, ditempuh dengan pembelian terhadap Surat Berharga Negara (SBN) untuk mempertahankan kondisi pasar keuangan agar tetap berada pada kriteria yang dalam dan likuid. Selain itu, sebagai injeksi likuiditas untuk pembiayaan dalam perekonomian.
Terdapat pula kebijakan sistem pembayaran dan PUR dalam bauran kebijakan. Kebijakan ini fokus pada pengendalian jumlah uang yang beredar di masyarakat melalui sistem pembayaran digital yang saat ini sedang digencarkan oleh Bank Indonesia.Â
Jumlah uang yang beredar (JUB) di masyarakat akan memengaruhi harga yang berlaku. Sehingga ketika JUB stabil, maka secara perlahan, harga pun ikut stabil dan inflasi akan terkendali pula.
Target inflasi juga dipengaruhi oleh capital inflow di Indonesia. Maka dari itu, terdapat kebijakan pendalaman pasar keuangan sebagai kebijakan pendukung. Kebijakan ini untuk mempertahankan pasar keuangan agar berada pada kondisi yang dalam dan likuid, sehingga pembiayaan untuk pembangunan dapat dilakukan dengan maksimal.Â
Selain itu, ketika pasar keuangan dalam kondisi yang dalam dan likuid, maka akan meningkatkan kepercayaan pemilik modal untuk kembali menginvestasikan modalnya ke Indonesia.Â
Stabilnya capital flow akan menyebabkan nilai tukar Rupiah berada dalam kondisi yang stabil. Hal tersebut dikarenakan nilai tukar Rupiah juga bergantung pada kondisi eksternal yang memengaruhi perekonomian domestik.
Kelima kebijakan tersebut memiliki peran penting berdasarkan jalurnya masing-masing. Namun tetap dalam satu tujuan yaitu untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah dan stabilitas harga sebagai indikator untuk mencapai inflasi yang sesuai target.Â
Saat ini, dengan kondisi perekonomian yang masih berada dalam kondisi ketidakpastian, sinergi bauran kebijakan dapat menjadi pilihan yang tepat untuk diberlakukan di Indonesia.Â
Sebab ketika hanya salah satu kebijakan saja, atau dua dari beberapa kebijakan tersebut diberlakukan, maka capaiannya tidak akan maksimal. Sehingga, harus ada sinergi antara beberapa kebijakan dalam menanggulangi ketidakpastian ekonomi, baik dari perekonomian global maupun perekonomian domestik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI