Mohon tunggu...
Yuli Puspita Sari
Yuli Puspita Sari Mohon Tunggu... Guru - Suka jalan-jalan, Suka nulis kalau lagi rajin.

| IG: @yulipuspita06

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Orangtua Tidak Menghormati Guru?

23 September 2016   19:02 Diperbarui: 25 September 2016   18:39 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bbc.co.uk

Menurut Richard Wozel, seorang Canadian Leading Futurist, dalam majalah Teach Mag (September: 2016), banyak orangtua yang bersahabat, mendukung, dan mau bekerjasama dengan guru untuk pendidikan terbaik anaknya. Tetapi, beberapa orangtua lainnya terlihat bermasalah dengan guru. Mereka tidak menunjukan sikap yang respek, dan tidak mau tahu terhadap tugas guru dan orangtua .Persoalan seperti ini nampaknya sering muncul, apa penyebab munculnya kekurang respek-an orangtua kepada guru, dan darimana ini berasal?

Hal tersebut ada kaitannya dengan persepsi terhadap status guru dan kesuksesan guru dalam menjalankan tugasnya. Di abad yang lalu, guru adalah seseorang yang paling terdidik diantara komunitas masyarakat tersebut. Sehingga mereka sangat dihormati dan dihargai. Sekarang, tingkat pendidikan guru sudah dipersepsikan sama dengan komunitas masyarakatnya (apalagi di perkotaan, banyak orangtua yang tingkat pendidikannya lebih tinggi dari guru), kaum berpendidikan tumbuh sangat banyak. Sehingga level pendidikan guru dengan orangtua siswa bisa jadi sama atau malahan guru lebih rendah.

Yang menyebabkan munculnya kekurang respek-an berikutnya yaitu orangtua tidak benar-benar tahu apa yang guru lakukan di kelas. Semua orang pernah bersekolah, dan oleh karena itu setiap orang berasumsi bahwa mereka memahami apa yang terjadi disana, dan dianggap tidak mengalami kesulitan. Guru bekerja 5 hari dalam seminggu dengan 6-8 jam, mengajar sebentar, dan pulang lebih awal. Tidak ada masalah dalam menghandle siswa, tidak ada sulitnya menyiapkan rencana pembelajaran, tidak sulit juga membuat soal kuis dan ujian, tidak sulit membuat siswa memahami konsep pembelajaran, dan tidak sulit mengembangkan metode belajar agar siswa tidak bosan ataupun malas belajar. Menurut beberapa orangtua, semua tampak mudah dari luar. Tentu saja, jika orangtua mencoba beberapa minggu saja menggantikan posisi guru, mungkin perspektif mereka akan berubah. Sayang sekali tapi, kesempatan itu sangat kecil.

Politik dapat juga menjadi alasan mengapa guru kurang dihormati orangtua siswa. Sebelum era “boomer” yakni era tahun 1947-1967 dimana periode tersebut adalah periode kemapanan ekonomi sesudah perang dunia II, para elit politik tidak terlalu tertarik dengan pendidikan. Namun, setelah para elite politik memiliki anak (baby boomers; anak yang lahir pada era perang dunia II) semuanya berubah. 

Mereka mendadak memperhatikan pendidikan, contohnya jika ingin terpilih di distrik tertentu mereka umumnya mengangkat isu pendidikan sebagai kampanyenya. Sayangnya, setelah terpilih para elit ini kebanyakan mendikte kurikulum sekolah harus sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kebijakan yang terlalu teoritis tetapi saat di lapangan kurang berhasil pada pelaksanaannya. Guru  lalu sering dikambing hitamkan dicap malas, tidak professional, dan tidak memahami kurikulum pembelajaran. System pendidikan sering berubah, dan lagi-lagi guru dikorbankan.

Selanjutnya, orangtua berubah sikapnya. Dulu jika anda mengalami masalah di kelas, anda tidak hanya di-disiplinkan oleh guru, tetapi anda akan mendapat double disiplin di rumah juga oleh orangtua. Hal tersebut tidak selalu seperti itu sekarang. Sekarang asumsi orang tua berubah, mereka menganggap putri dan putra kecilnya selalu benar dan gurulah yang salah. Sehingga mereka “menyerang” guru yang dianggap terlalu keras dalam mendisiplinkan anaknya, atau bahkan menilai rendah guru tersebut.

Alasan-alasan persoalan tersebut cukup kompleks. Pertama karena orangtua diburu waktu. Sering kedua orangtua siswa bekerja semua. Orangtua sering memiliki beberapa macam pekerjaan yang harus diselesaikan segera. Akibatnya, orangtua sering kelelahan, sehingga mudah melampiaskn emosi, kurang sabar, sehingga dalam melihat dan memperhatikan anaknya kurang hangat dan dalam. Faktanya, reaksi berlebihan yang mereka munculkan adalah karena ada perasaan bersalah dalam diri mereka. 

Sejak mereka tidak dapat menghabiskan banyak waktu bersama ank-anaknya. Mereka menggantinya dengan mencoba menjadi “good guys” atau orangtua yang baik versi mereka. Hal ini bisa diartikan mereka sedang mengijinkan anaknya untuk menganggap gurunya sebagai “bad guy”.

Kemudian, beberapa orangtua menganggap anak-anaknya sebagai “ornament” bagi ego mereka. Ya, anak dijadikan hiasan yang tidak boleh rusak, tidak boleh jatuh dan pecah layaknya perabotan berharga di rumah. Mana boleh guru memarahi anaknya, di rumah saja orangtua tidak pernah memarahinya. Itulah mengapa banyak siswa yang tidak bisa diajari disiplin oleh guru. 

Orangtua serba permissive dan membolehkan di rumah. Orangtua terlalu memanjakan anak juga merupakan penyebab orangtua tidak respek terhadap guru. Orangtua ini punya cara sendiri menurut mereka untuk selalu membuat anaknya nyaman. Bagaimana anak-anak akan mengatur hidupnya kelak dan bergaul dengan berbagai latar belakang orang jika terus dimanjakan?

Para orangtua yang memanjakan anak kadang kurang sopan terhadap guru, inginnya diperlakukan lebih dari yang lain, ingin berbeda dari yang lain, dan memandang guru sebagai mohon maaf “nanny” atau pembantu seperti di rumah mereka. Biasanya, mereka akan menyalahkan guru kenapa kelakuan anaknya buruk dan tidak disiplin, mereka menolak bahwa itu juga bagian dari tanggung jawab mereka di rumah. Semuanya diserahkan kepada guru. Orangtua yang dibesarkan dengan kemanjaan dan anak yang dimanjakan oleh orangtua yang manja, adalah kombinasi yang sangat buruk.

System pendidikan jauh berubah saat ini. Dua generasi yang lalu, disiplin bisa berarti menghukum siswa untuk berdiri di depan papan tulis, pukulan kecil dengan penggaris, keliling lapangan, dan mungkin dibawa ke ruang kepala sekolah. Sekarang, hal-hal begitu sudah dianggap ketinggalan zaman, sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Sehingga guru menjadi powerless berkenaan dengan penegakan disiplin. Orangtua sedikit-sedikit mengkaitkan dengan pelanggaran hak jika guru menegur siswa cukup keras, apalagi sampai mendisiplinkan dengan cara memukul dengan penggaris ketika siswa tidak membawa PR.

Langkah untuk menghadapi masalah-masalah tersebut diantaranya, pertama, pihak sekolah beserta guru harus proaktif dalam menjelaskan kewajiban berbagai pihak, dalam hal ini terhadap guru dan sekolah. Undanglah orangtua dalam pertemuan bersama sekolah dan guru, lalu jelaskan apa saja aturan yang harus ditaati d isekolah dan apa saja yang harus dilakukan orangtua untuk mendukung kesuksesan belajar anaknya. Solusi ini sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tetapi, setidaknya akan mengurangi orangtua yang suka complain dan menyerang guru. Intinya guru dan sekolah harus memiliki senjata sebelum orangtua menyerang mereka. 

Kedua, yaitu mengenai mengajar itu sendiri. Pekerjaan yang dilakukan guru, mengajar, merupakan hal penting dilakukan terhadap kemajuan masyarakat. Untuk itu guru harus sabar, enjoy, dan melakukan tugas mengajar dengan sebaik mungkin, walaupun orang tua tidak menghargai dan kurang berterimakasih. Masa depan anak bangsa ada di tangan guru. Pahlawan tanpa tanda jasa. Mengajar dengan hati, meski kadang tak dihargai.

sumber

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun