Kinerja  karyawan  merupakan  elemen  kunci  yang  memengaruhi  berbagai  aspek operasional  organisasi (Sinambela  2021).  Kinerja  karyawan  yang  optimal  secara langsung berkorelasi dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas-tugas  organisasional (Akbar  2018).  Penting  bagi  organisasi  untuk  secara  tepat menganalisis  dan  memahami  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  kinerja  guna menciptakan strategi manajemen yang efektif dalam meningkatkan kinerja karyawan.
Melalui  pendekatan  yang  komprehensif  terhadap  pengelolaan  sumber  daya  manusia, organisasi dapat mengoptimalkan potensi karyawan, meningkatkan produktivitas, serta meraih keunggulan kompetitif (Setyawan 2018). Perkembangan  teknologi  yang  sangat  pesat  telah  membawa  dampak  signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dinamika kerja. Inovasi seperti kecerdasan buatan dan komputasi awan telah meningkatkan efisiensi operasional, namun sekaligus  menimbulkan  tantangan  serius  dalam  konteks  pekerjaan.  Selain  itu, transformasi  digital  telah  mengubah  paradigma  kerja  dengan  memperkenalkan fleksibilitas  dan  mobilitas,  menuntut  adaptasi  cepat  dari  individu  dan  organisasi. Perkembangan teknologi yang membuat hampir semua proses menjadi cepat ini juga membuat kinerja karyawan menjadi mengalami penurunan (Kosdianti et al. 2021).
Faktor  yang  memiliki  pengaruh  signifikan  terhadap  kinerja  karyawan  adalah kondisi  kesehatan mental.  Seiring  dengan semakin  meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya aspek psikologis dalam lingkungan kerja, pengakuan terhadap peran mental health  sebagai  determinan  utama  produktivitas  dan  kesejahteraan  karyawan  semakin merasuk  ke  dalam  literatur  akademis  dan  praktik  manajemen  sumber  daya  manusia. Penelitian empiris menunjukkan bahwa kesehatan mental yang baik berkontribusi positif terhadap kebahagiaan dan tingkat produktivitas kerja. Sebaliknya, ketidakseimbangan mental  yang  diakibatkan  oleh  stres,  kecemasan,  dan  depresi  dapat  menyebabkan penurunan performa karyawan (Elrayah and Zakariya 2023; Sun et al. 2022). Oleh karena itu, pemahaman dan penanganan terhadap aspek mental health menjadi esensial dalam strategi  manajemen  yang  berorientasi  pada  peningkatan  kinerja  dan  kesejahteraan karyawan.
Kompensasi  juga  menjadi  aspek  penting  yang  secara  signifikan  memengaruhi kinerja  karyawan (Astarina  2021;  Oetomo  2020).  Keberhasilan  organisasi  dalam menciptakan sistem kompensasi yang adil dan sesuai dengan harapan karyawan dapat menjadi kunci utama dalam meningkatkan kinerja dan motivasi karyawan (Ludin, Mukti, and  Rohman  2023).  Kompensasi  tidak  hanya  mencakup  aspek  finansial,  tetapi  juga melibatkan pengakuan terhadap kontribusi individu serta pemahaman terhadap harapan dan nilai-nilai karyawan. Sebaliknya, ketidaksesuaian antara kompensasi yang diberikan dan  ekspektasi  karyawan  dapat  berpotensi  menciptakan  ketidakpuasan,  yang  pada gilirannya dapat menghambat motivasi dan kinerja karyawan (Sudaryo, Aribowo, and Sofiati 2019).
Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk secara cermat merumuskan dan  mengimplementasikan  kebijakan  kompensasi  yang  memperhatikan  keadilan  dan kepuasan  karyawan  guna  mendukung  pencapaian  tujuan  organisasional  secara berkelanjutan.Disisi lain kepuasan kerja juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi kinerja karyawan dalam lingkungan kerja (Sabrina and Ikhsan 2023). Kepuasan kerja yang tinggi berkontribusi  terhadap  peningkatan  suasana  hati  dan  motivasi  karyawan  yang  dapat menciptakan suatu kondisi di mana karyawan merasa puas dan berkomitmen terhadap tugas-tugas mereka. Sebaliknya, rendahnya tingkat kepuasan kerja dapat menghasilkan dampak  negatif  yang  mencakup  ketidakpuasan  personal,  kurangnya  motivasi,  dan rendahnya  tingkat  komitmen  terhadap  pekerjaan  yang  diemban (Wijaya  2018).  Oleh karena itu, pemahaman dan manajemen aspek-aspek yang mendorong kepuasan kerjamenjadi esensial dalam upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan mendukung perkembangan karyawan secara optimal.
Sementara Motivasi kerja menjadi faktor yang tak kalah penting dalam membentuk kinerja  karyawan.  Hal  ini  disebabkan  tingginya  tingkat  motivasi  dapat  mendorong karyawan  untuk  bekerja  dengan  optimal  demi  mencapai  tujuan  organisasi.  Secara kontrastif,  rendahnya  motivasi  kerja  dapat  mengakibatkan  kurangnya  dorongan  bagi karyawan untuk memberikan kontribusi maksimal dan mencapai target organisasional (Umpung, Pertiwi, and Korompis 2020). Dalam konteks ini, pentingnya motivasi kerja tidak dapat diabaikan, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap produktivitas dan pencapaian tujuan perusahaan. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi motivasi kerja menjadi urgentbagi manajemen sumber daya manusia guna memacu karyawan untuk meraih prestasi dan bekerja secara optimal.
Terdapat beberapa masalah yang dihadapi karyawan dalam dunia kerja, salah satunya adalah burnout. Cherniss (1987) mengatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dari orang lain maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat dan keinginan pindah kerja sangat kuat. Freudenberger (dalam Farber, 1991) mendefinisikan burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan oleh seseorang yang beraktivitas terlalu intens, memiliki dedikasi yang tinggi dan berkomitmen, beraktivitas terlalu lama dan banyak serta memandang kebutuhan, dan keinginan mereka sebagai hal kedua yang dapat menyebabkan individu tersebut merasakan adanya tekanan-tekanan yang memberikan sumbangan lebih banyak pada organisasinya.
Seseorang yang menderita burnout secara emosional kelelahan dan memiliki motivasi kerja yang rendah. Pines dan Aronson (Farhati dan Rosyid, 1996) menyatakan bahwa burnout adalah suatu bentuk ketegangan atau tekanan psikis yang berhubungan dengan stres yang kronik, yang dialami seseorang dari hari ke hari ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan emosional. Masclach (2001) menjelaskan bahwa burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosi, depersonalisasi, dan penurunan prestasi pribadi maupun rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri dalam melakukan tugasnya sehari-hari. Ketika inidividu mengalami burnout, maka muncul beberapa respon berupa merasa sinis dan asing terhadap pekerjaannya, merasa tidak efektif dan tidak berprestasi dalam pekerjaanan (Maslach & Leiter, 2016). Burnout merupakan sindrom psikologis yang muncul sebagai respon berkepanjangan terhadap stressor interpersonal yang kronis dari pekerjaan (Maslach & Leiter, 2016). Burnout dapat menjadi masalah yang serius bagi perusahaan ataupun organisasi dan individu yang nantinya akan mempengaruhi produktivitas, kualitas, kepuasan kerja dan kinerja karyawan (Kardiawan, 2018).
Faktor-faktor burnout menurut Maslach & Leiter (1997) yang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:
1. Work overloaded
Kemungkinan terjadi akibat ketidak sesuaian antara karyawan dengan pekerjaannya. Karyawan terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan waktu yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan yang di kerjakan melebihi kapasitas kemampuan manusia yang memiliki keterbatasan.