Fenomena miris terjadi di negeri kita. KIP Kuliah sebagai program bantuan untuk terus melanjutkan pendidikan bagi mahasiswa dengan latar belakang ekonomi tidak mampu justru disalah gunakan oleh sebagian orang.
Sebagian mahasiswa penerima KIP kuliah sangat tidak mencerminkan bahwa dirinya berasal dari keluarga tidak mampu. Ironis memang, namun realitas itulah yang terjadi di negara ini. KIP kuliah yang seharusnya menjadi peluang bagi mahasiswa dengan latar belakang ekonomi tidak mampu untuk terus melanjutkan pendidikan justru tersalurkan kepada orang- orang dengan latar belakang ekonomi yang dapat dikatakan tergolong mampu.
Ketika penerima KIP Kuliah berbanding terbalik dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikatakan secara tidak langsung terdapat suatu pelanggaran di dalamnya, baik pelanggaran etika, norma, maupun empati. Terdapat pihak- pihak tak bertanggung jawab yang kadangkala memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mendapatkan keuntungan pribadinya. Entah berkaitan dengan adanya campur tangan dalam pemerintahan atau hanya seorang individu yang ingin keberlangsungan gaya hidupnya terpenuhi.
Gaya hidup itu sendiri merupakan pola hidup seseorang yang diekspresikan melalui minat, opini, dan aktivitas yang dilakukannya. (Kotler dalam Aditya, 2016). Terdapat beberapa jenis gaya hidup, salah satunya hedonis. Dimana gaya hidup hedonis ini lebih menggutamakan kenikmatan dan kesenangan hidup. Dalam hal ini seseorang berusaha menunjukkan identitasnya melalui penggunaan simbol- simbol tertentu (Pertiwi, 2018).
Mahasiswa penerima KIP Kuliah cenderung memiliki gaya hidup yang lebih mewah dibandingkan dengan mahasiswa lain. Pemakaian barang- barang branded seperti tas, sepatu, pakaian, handphone hingga kendaraan pribadi serta kebiasaan nongkrong di tempat fancy terlihat tidak begitu mencerminkan adanya kesulitan ekonomi yang dideritanya dan justru menunjukkan status sosial yang tinggi.Â
Perilaku seperti inilah yang menjadi kontroversi di dalam masyarakat. Tak berkemanusiaan mungkin cocok dilontarkan kepada oknum- oknum ini. Disaat terdapat orang yang mati-matian mencari jalan agar tak putus pendidikan, mereka yang telah mendapatkan bantuan justru tak dapat memanfaatkannya dengan bijak.
Api dalam asap semakin menyala bersamaan dengan viralnya mahasiswa penerima KIP kuliah yang bergaya hidup hedon baru- baru ini. Postingan- postingan media sosial oknum mahasiswa tersebut sangat bertolak belakang dengan statusnya sebagai penerima KIP Kuliah. Pemakaian handphone bermerek Iphone, tas branded dan motor vespa dengan harga jutaan serta nongkrong di cafe- cafe bertarif mahal yang dibagikannya melalui foto dan story cukup menunjukkan bahwa gaya hidup yang dijalaninnya diatas rata-rata kehidupan seorang mahasiswa.Â
Berdasarkan hal tersebut, lantas apa yang sebenarnya terjadi dibalik layar KIP Kuliah ini? Mengapa bisa penyalurannya tidak tepat sasaran? Dan apakah benar penyaluran KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran ini hanya terjadi pada sebagian kecil saja? Bagaimana jika golongan ini lah yang mendominasi penerima KIP Kuliah? Apakah pemerintah akan terus acuh terhadap permasalahan ini?
Referensi
Aditya, Mafazi. (2016). Pengaruh Gaya Hidup dan Citra Merek terhadap Keputusan Pembelian Smarthphone Apple pada Mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area. Skripsi Program Studi Manajemen. Medan: Universitas Medan Area.