Mohon tunggu...
Yulinda Eka
Yulinda Eka Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obsesi

27 Agustus 2016   09:38 Diperbarui: 27 Agustus 2016   09:50 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak pantang usia kita terpaut 10 tahun, asal  dia berada disampingku. Aku ingin dia. Mendengar semua curahanku. Memberi solusi dengan sangat bijaknya, seperti kebanyakan teman-temanku disana. Namun hanya teman, kakaklah yang kuharapkan. Walau teman sewaktu-waktu bisa menjadi kakak, tapi ikatan batin yang kita punya  lemah.  Aku ingin dia menyaksikan catatan hidupku yang telah berbeda dari kala dulu.  

Hanya beberapa tahun saja, aku diperhatikannya. Hanya disayangi seperti anak kecil 7 tahun pada umumnya. Dia tak pernah mendengar keluh maupun curahanku tatkala remaja. Keluhan yang tak lagi klise, keluhan yang berevolusi. Rasanya jatuh bangun cinta, sampai merasakan pahitnya jadi fitnah orang ketiga.  

 Kau menginginkannya? Kembali saja ke orok. Sudah takdir. Terimalah!

Begitulah respon kakakku, tatkala bibir ini tak pandai menahan keluhannya. Keceplosan.

Benar, aku masih dianugerahi kakak lagi. Namun seorang wanita. lantas, tak ada kecocokan  diantara kita. pikiran ini selalu beranggapan wanita itu manja, lemah, dan hanya mampu menyelesaikan semua masalah dengan airmata. Wanita seringkali berkilah, pandai mengobral cerita. Tak di pasar, sekolah, dimanapun bisa. Suka-suka mereka. Seperti wanita ini. Aku tahu, di  usiaku yang  beranjak dewasa, tak  semua wanita seperti itu. 

Tapi tetap, diri ini  tak bisa menghapus anggapan demikian. Terpatri terlampau jauh. Tertambat kuat dalam ingatan. Anggapan serupa pula yang membuatku bertabiat kelaki-lakian. Percuma, amat kepalang bila memiliki kakak perempuan. Dia tak bisa melundingiku. Juga tak bisa memecahkan masalah-masalahku. Kita setabiat, tapi berseberangan pendapat.              

Itulah yang tak ku suka. Aku lebih senang berteman dengan satu pria daripada seribu wanita. Seorang pria sudah mampu menampung jutaan keluhan wanita. Oh ibu, andai sulungmu itu masih hidup. Aku pastilah senang. Kau juga, begitu bapak adik dan kakak.

***

Setetes airmata membuatku tersadar, aku terlampau dalam. Pikiran ini terlalu liar, merambat kemana-mana tanpa arah yang jelas. Neon kuning menyala, tampak penumpang bus satu demi satu. Berminyak, lelah, kusam gamblang ku lihat semuanya. Syukur, aku tak sesunggukan, hanya setetes saja. walau sudah berhasil membikin aliran disepanjang pipi.

“Ya, persiapan. Persiapan yang Royal.” Segera, pilar panjang dekat pintu kuraih. Bertumpu disana. Surabaya telah didepan mata. Ketukan koin lima ratusan berbunyi seketika. Si kemudi mengurangi laju busnya. Kalem, hingga terhenti.

Berpijak. Dengan kaki kiri, akhirnya kelap-kelip lampu Surabaya menyambutku. Tak lagi bergerimis. Namun aroma hujan dan tanah semerbak dimana-mana. Khas, inilah yang kunanti-nanti. Kemarau pergi hujan pun menanti. Aku tak beranjak  kemana-mana. Berdiri seorang diri di tengah kerumunan kendaraan dan lalu lalangnya orang. Menengadah kepada megahnya langit yang tak berbintang. Hanya dihiasi semburat warna jingga, biru, ke abu-abuan. Obsesi ini akan terus berjalan. Biarlah, jika dia hanya mengintaiku dari sana. Aku disini, senantiasa mengenangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun