Tak masalah, asal sampai Surabaya dengan selamat. tak kurang dan lebih sekalipun. Itu saja.
“ Ya, kiri. Ikut-ikut. Kalem. “ Om kenek melambaikan tangan dari bibir pintu belakang. Ada penumpang yang hendak turun, atau dirasa sebaliknya. Sekilas, Pasangan anak ibu bergegas naik sambil mengangkat-angkat tangannya. Tak ada payung tanganpun jadi. Gerimis kian menindih.
Mereka duduk didepanku. Seorang wanita hampir setengah abad dengan kedua anaknya. Satu laki-laki, satunya perempuan. Berbekal kardus dan tas besar tak cukup bila hanya sepasang kursi didepanku saja.
“Adik duduk samping kakak saja.” Tak perlu ditanya, anak perempuan itu berucap pada ibunya dengan logat manja. Wajah berseri mengikuti. Sang ibu balas tersenyum. Anak-anaknya duduk tak jauh dari induknya.
Aku belum beranjak. Mata ini terlalu sayang melewatkan moment itu. Keluarga bahagia. Senang, meski daku takkan pernah jadi bagiannya. Daku ikut merasakan setidaknya.
“Kak, sesampai di KBS, janganlah lupa. Bangunkan. Adikmu akan tidur.” Berkacamata, menambah manis anak perempuan itu. Sekitar 12 tahun, sedang terlelap di pundak anak satunya. Tentulah dia sang kakak. Tak perlu tebak menebak, sudahlah kentara. Fisik dan airmuka tertampak nyata. Dalam tempo yang sama, kacamata si adik sudah dalam genggamannya. Benar-benar perhatian.
Aku belum beranjak, masih menatap mereka. Lebih, kali ini kepada kakanya. Andai saja.
“Kau pegang ini nak, adikmu memang suka dengan mainan ini.” Sang ibu memberikan kantong kresek putih, yang mana cepat lambatnya orang lain akan tahu isinya.
Plastik sekilo-an berisi miniatur angsa terapung dipermukaan air diwarna hijau. Siapa yang tak tahu? Mainan favorit anak gadis seusia anak perempuan itu di desaku. Elok memang. Cukup 3000 kami sudah mendapatkannya dari penjual chupang atau mas koki. Bisa juga, kala berkunjung ke salah satu wisata kaki gunung kota Pacet, kalian akan menemuinya di sepanjang lapak pedagang. Sekali lagi aku belum beranjak, masih menatap anak laki-laki itu. Dia membelai kepala adiknya dengan penuh kasih sayang kurasa. Oh, andai saja.
Andaikan, aku seberuntung adiknya. Memiliki kakak yang nampak sangat baik dan perhatian seperti anak laki-laki itu. Iri, perasaan ini selalu maju menjadi panglima, disaat kesemua perasaan masih berjalan dalam lintasannya. Raja yang spontan menyelundup dalam barisan pion, tatkala kualahan begitu serangan lawan menghadang. Dengki, sudah 11 tahun perasaan ini menyelubungi. Membuat aku seketika lemah dan kalah.
Hidup tak ada apa-apanya. Semuanya sia-sia. Apalagi tanpa seorang laki-laki yang usianya diatasku. Seperti anak laki-laki itu, yang masih saja membelai kepala adiknya. Jelas, dia sayang kepada adiknya. Aku, obsesi berat memiliki kakak laki-laki. Status kandung, bukan kakak yang sering diartikan para remaja putri disana dari kekasihnya. Bukanlah kakak ketemu besar. Semestinya aku punya, tapi dia hanya mengintaiku dari surga. Sakit keras 12 tahun silam, membuatku dengannya berjarak. Jarak kami terlampau jauh. Manusia saja tak sanggup menghitungnya. Berbeda dimensi. Lain ruang dan waktu. Dunia dan akhirat. Ghaib dan kasat mata.