Mohon tunggu...
Yulinda Eka
Yulinda Eka Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obsesi

27 Agustus 2016   09:38 Diperbarui: 27 Agustus 2016   09:50 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak masalah, asal sampai Surabaya dengan selamat. tak kurang dan lebih sekalipun. Itu saja.

“ Ya, kiri. Ikut-ikut. Kalem. “ Om kenek melambaikan tangan dari bibir pintu belakang. Ada penumpang yang hendak turun, atau dirasa sebaliknya. Sekilas,  Pasangan anak  ibu  bergegas naik sambil mengangkat-angkat tangannya. Tak ada payung tanganpun jadi. Gerimis kian menindih.    

Mereka duduk didepanku. Seorang wanita hampir setengah abad dengan kedua anaknya. Satu  laki-laki, satunya perempuan. Berbekal  kardus dan tas besar tak  cukup bila  hanya sepasang kursi didepanku saja.  

“Adik duduk samping kakak  saja.” Tak perlu ditanya, anak perempuan itu  berucap pada ibunya dengan logat manja. Wajah berseri mengikuti. Sang ibu balas tersenyum. Anak-anaknya duduk tak jauh dari induknya.

Aku belum beranjak. Mata ini terlalu sayang melewatkan moment itu. Keluarga bahagia. Senang, meski daku takkan pernah jadi bagiannya. Daku ikut merasakan setidaknya.  

“Kak, sesampai di KBS, janganlah lupa. Bangunkan. Adikmu akan tidur.” Berkacamata, menambah manis  anak perempuan itu. Sekitar 12 tahun, sedang terlelap di  pundak anak satunya. Tentulah dia sang kakak. Tak perlu tebak menebak, sudahlah kentara. Fisik dan airmuka tertampak nyata. Dalam tempo yang sama, kacamata si adik sudah dalam genggamannya. Benar-benar perhatian.

Aku belum beranjak, masih menatap  mereka. Lebih, kali ini kepada kakanya. Andai saja.

“Kau pegang ini nak, adikmu memang suka dengan mainan ini.” Sang ibu  memberikan  kantong kresek putih, yang mana cepat lambatnya orang lain akan tahu isinya.

Plastik sekilo-an berisi miniatur angsa  terapung dipermukaan air diwarna hijau. Siapa yang tak tahu? Mainan favorit anak gadis seusia anak perempuan itu di desaku. Elok memang. Cukup 3000 kami sudah mendapatkannya dari penjual chupang atau mas koki. Bisa juga, kala berkunjung ke salah satu wisata kaki  gunung kota Pacet, kalian akan menemuinya di sepanjang lapak pedagang. Sekali lagi aku belum beranjak, masih menatap anak laki-laki itu. Dia membelai kepala adiknya dengan penuh kasih sayang kurasa. Oh, andai saja.

Andaikan, aku seberuntung adiknya. Memiliki kakak yang nampak sangat baik dan perhatian seperti anak laki-laki itu. Iri, perasaan ini selalu maju menjadi panglima, disaat  kesemua perasaan masih berjalan dalam lintasannya. Raja yang spontan menyelundup dalam barisan pion, tatkala kualahan begitu serangan lawan menghadang.  Dengki, sudah 11 tahun perasaan ini menyelubungi. Membuat aku seketika lemah dan kalah. 

Hidup tak ada apa-apanya. Semuanya sia-sia. Apalagi tanpa seorang laki-laki yang usianya diatasku. Seperti anak laki-laki itu, yang masih saja membelai kepala adiknya. Jelas, dia sayang kepada adiknya. Aku, obsesi berat memiliki  kakak laki-laki. Status kandung, bukan kakak  yang sering diartikan para remaja putri disana dari kekasihnya. Bukanlah kakak ketemu besar.  Semestinya aku punya, tapi dia hanya mengintaiku dari surga. Sakit keras 12 tahun silam, membuatku dengannya berjarak. Jarak kami terlampau jauh. Manusia saja tak sanggup menghitungnya. Berbeda dimensi. Lain ruang dan waktu. Dunia dan akhirat. Ghaib dan kasat mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun