Mohon tunggu...
Julie Nava
Julie Nava Mohon Tunggu... -

Indonesian writer and Branding Consultant. Live in Detroit - Michigan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Saat Menulis Memoar Imam Shamsi Ali

13 Februari 2014   21:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jauh sebelum ada tawaran untuk menulis memoir Imam Shamsi Ali  (Menebar Damai di Bumi Barat - diterbitkan oleh Mizan), saya sudah penasaran dengan sosok imam New York yang satu ini. Tidak saja karena asal beliau yang dari Indonesia, saya penasaran dengan caranya. Bagaimana sebenarnya dakwah yang diterapkannya, hingga bisa menarik perhatian banyak orang.

Muslim adalah kelompok minoritas di sini. Hanya sekitar 1,6% dari total penduduk. Itu pun dengan stigma sosial yang naik turun, dari negatif ke positif, ke negatif lagi. Lebih sering ya negatif. Jadi sejujurnya memang saya sedikit sangsi, apa benar ada cara dakwah yang efektif dan membuat orang jatuh cinta dengan Islam? Pergi ke Dearborn saja, salah satu pusat Muslim terbesar di Amrik, jarang saya lakukan. Apa lagi kalau bukan karena stigma, dan kekhawatiran tentang keamanan daerah itu.

Malam hari, setiba di rumah ustadz Shamsi, pembicaraan masih berkisar ke soal sejarah hidup, pengalaman berinteraksi, dan cerita-cerita kecil lain. Belum saya tangkap nuansa “realita”nya. Barulah keesokan harinya, ustadz Shamsi mengajak saya ke masjid dan jalan berkeliling di kawasan bernama Jamaica itu.

Di saat itu, baru saya rasakan sesuatu yang menggetarkan hati.

Dulunya, Jamaica adalah kawasan yang terbilang “hitam”. Sarang kejahatan, sarang maksiat, dan sarang obat-obatan terlarang. Antara komunitas ekonomi tinggi dan komunitas ekonomi rendah, seperti minyak dengan air. Seperti halnya di banyak tempat di Amerika, orang lebih memilih menghindari daerah-daerah hitam ketimbang masuk dan berusaha menyembuhkan luka sosial di sana.

Kemudian seorang muslim masuk. Ia muslim dari Pakistan, yang menyewa sebuah rumah murah di situ. Murah, karena siapa yang mau sebenarnya untuk tinggal di kawasan hitam dan sarat kriminalitas, bertetangga dengan para prostitusi dan pengedar narkoba? Hanya orang nekat atau tidak punya pilihan saja, yang mau menempuh resiko itu.

Mungkin si muslim Pakistan itu juga tidak punya banyak pilihan. Imigran dari sana tentu bukan orang kaya. Dan layaknya para pengadu nasib di sini, resiko apapun akan dijalani. Namun yang menakjubkan adalah, bahwa kehadirannya turut menyembuhkan luka.

Ia membuka basement apartemennya sebagai tempat ibadah dan berkumpul bagi sesama muslim. Lambat laun, banyak muslim berdatangan. Mereka menyewa rumah-rumah di sekitarnya, dan rutin melanjutkan kegiatan ibadah di basement milik orang Pakistan tadi.

Seir

ing waktu, dengan bertambahnya populasi, roda ekonomi lokal turut menggeliat. Toko dan restoran halal bermunculan. Tingkat ekonomi penduduknya meningkat. Si orang Pakistan itu akhirnya mampu membeli rumah lain dan menjual apartemennya untuk dijadikan masjid. Anak-anak makin banyak. Lalu lalang orang pergi berniaga, ke sekolah, dan ke masjid bertambah. Para penjual narkoba dan prostitusi mulai merasa segan, dan berpindah dengan sendirinya. Kawasan itu perlahan mulai bersih dan nyaman ditempati.

Saat berjalan berkeliling kawasan itu, saya seolah melihat sebuah kampung besar. Interaksi antar penduduknya terasa akrab. Beberapa kali Imam Shamsi berhenti untuk sekedar menyapa dan melempar senyum. Beberapa kali pula ia berhenti karena ada yang mengajaknya mengobrol sembari curhat. Dan Imam Shamsi juga bercerita, bahwa orang-orang kerap datang ke rumahnya untuk membahas soal kenakalan anak-anak mereka, kisah cinta yang terhalang restu orangtua, soal pekerjaan, sekolah, perjodohan, dan lain-lain.

Yang seperti ini termasuk langka. Suasana kekeluargaan yang akrab sudah banyak hilang dari Amerika. Antar tetangga, kadang belasan tahun tak saling kenal nama. Kalau saya mengobrol dengan generasi baby-boomers di sini, rasa kehilangan itu sangat nampak. Dulu anak-anak bisa bermain ke tetangga sampai malam tanpa rasa takut. Kini anak-anak diawasi ketat, dengan mata elang. Itu sebabnya, ketika melihat suasana akrab di kawasan ini, rasanya seperti mendapati embun yang membasahi rerumputan kala pagi. Menyegarkan, dan membuat orang merasa optimis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun