Mohon tunggu...
Yuli Julianti
Yuli Julianti Mohon Tunggu... Guru - Bandung

Melukis dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gang Jap Lun: Jejak Etnis Tionghoa di Kota Kembang

23 Juli 2020   13:21 Diperbarui: 24 Juli 2020   02:37 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terik matahari menyorot tajam di tengah siang Kota Bandung. Para penjual dan pembeli tampaik ramai di sepanjang jalanan di pinggir Pasar Andir. Jalan ini menghubungkan pada sebuah gang tua dan toko- toko yang masih bergaya kolonial.

Sejumlah Pedagang Tionghoa nampak berderet berniaga yang umumnya menjajakan ikan asin. Ya, betul ikan asin. Itulah Gang Jap Lun.

Jalan kecil ini yang menjadi saksi historis jejak kehidupan etnis Tionghoa sejak dulu hingga kini. Menurut Taniputera dalam bukunya yang berjudul History of China, "Terbentuknya pecinan di kota-kota Pulau Jawa, bermula ketika VOC menawarkan kondisi ekonomi terbuka bagi para pendatang dan bebas bertempat tinggal di mana pun di sekitar Batavia. Sehingg tidak heran jika di Bandung pun diberlakukan kebijakaan serupa.

Sebagaimana menurut Nina Herlina Lubis, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran dalam bukunya Sejarah Kota- Kota Lama di Jabar, "Pada 1809, etnis Tionghoa telah eksis di Bandung sebagai satu satunya pedagang yang diizinkan bermukim untuk berdagang beras.

Baru pada 1810 Deandels, Gubernur Jendral Belanda saat itu memerintahkan agar mulai dibangun wijk khusus hunian Tionghoa (Chineesche kamp).

Sejak awal kedatangan etnis Tionghoa datang ke Bandung untuk perdagangan. Tidak heran kini pemukiman etnis Tionghoa berada di sentral kota sebagai pusat perekonomian seperti di sekitar Stasiun Kereta Api Bandung, Pasar Baru, Pasar Andir, dan Jalan Raya Utama (Postweg) atau kini dikenal sebagai Jalan Soedirman. Namun, pemukiman Tionghoa di Kota Bandung memiliki keunikan dibandingkan pecinan lain di Pulau Jawa.

Pemukiman Tionghoa di Kota Bandung tidak memiliki batasan wilayah berbeda dengan pemukiman Tionghoa lain di Pulau Jawa. 

"Hal ini dikarenakan etnis Tionghoa di Kota Bandung umumnya tidak banyak dibandingkan kota- kota besar di pulau Jawa seperti Yogyakarta, Semarang, dan Batavia. Sehingga tidak memerlukan pemantauan yang begitu serius," ungkap Ridwan pendiri Komunitas Aleut, yaitu komunitas apresiasi wisata sejarah di Bandung.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Nama gang ini diambil dari seorang Tionghoa bernama Yap Loen sebagai seorang pengusaha tekstil dan properti pada awalnya berdagang kain keliling. Menurut Tunas dalam bukunya The Chinese Settlement of Bandung, "Yap Loen aktif dalam berbagai organisasi Tionghoa, THHK (pendidikan), Siang Hwe (perdagangan), Hong Hoat Tong (paguyuban), anggota dewan Regentschapsraad Bandoeng".

Yap Loen lahir 1874 di Batavia, dan kembali ke Jawa pada usia 12 tahun. Pada Perang Dunia I (1914-1918), ia menjadi seorang saudagar kaya karena usaha impor kain dalam jumlah besar dari Jepang pada saat Eropa berperang sehingga Eropa tidak mampu menyuplai barang ke Hindia Belanda.

Yap Loen menjadi perintis Gg. Luna (Lun-An; Yap Lun & Kok An), di daerah Jalan Waringin, belakang Pasar Andir. Daerah itu disebut sebagai kompleks Yap-lun, Yaploen straat, Yaploen plein. Di daerah itu terdapat sekitar 130 buah rowhouse ruko satu lantai khas Tionghoa. Perusahaan pengembangnya adalah "Jap Loen & Co." dan "NV Bow Mij Tjoan Seng.". 

A. Aroma Khas Ikan Asin

Menjelang siang, atmosfir perdagangan etnis Tionghoa di Gang Jap Lun semakin terasa, ditambah dengan suasana khas daerah Pecinan, yaitu desain dinding muka toko dari konstruksi kayu yang dapat dibuka ketika siang hari, sore hari dapat dipasang kembali (thiam-tang).

Selain itu, mereka mengubah ruang depan ruko sebagai ruang terbuka umum untuk aktivitas perdagangan. Bangunan sempit yang memanjang ke dalam, atap menerus sepanjang barisan ruko, dan beberapa wuwungan masih terlihat berbentuk melengkung.

Daun pintu yang dibelah setengah tinggi, serta aroma khas pasar selalu melingkupi lingkungan tersebut. Aroma khas ini disebabkan ikan asin yang dijajakan para pedagang, bercampur sisa-sisa sayur dagangan, dan lingkungan yang tergenang air karena buruknya sistem drainase di daerah ini. Berdekatan dengan kompleks ini terdapat Pasar Andir yang merupakan pasar tradisional dengan masa bangunan yang sangat menentukan suasana sekitarnya.

Sulit untuk menemukan orang Tioanghoa asli, karena etnis Tionghoa sudah banyak yang sudah bercampur dengan masyarakat setempat dan tersisa Tionghoa keturunan sebagai penerus. banyak juga Tionghoa keturunan yang mengaku kurang mengetahui sejarah etnis Tionghoa yang ada di Gang Jap Lun ini.

Menurut Cahyadi salah satu pedagang ikan asin etnis Tionghoa, "Banyak yang jualan ikan asin, ada juga yang jualan hasil bumi tapi presentasenya lebih banyak yang ikan asin. Dulunya sebenarnya disini itu namanya Gang Jap Lun entah sejak kapan berubah, sekarang ditambah ada nama Jalan Kakap, Jalan Gabus, dan Jalan Teri. Boleh dikatakan begitu karena disini kompleksnya ikan asin.".

Pedagang yang telah berusia 78 tahun ini juga mengungkapkan bahwa kebanyakan bisnis ikan asin ini sudah berjalan dua atau tiga generasi. Meskipun ada juga yang dari luar kota, tapi kebanyakan hanya meneruskan usaha keluarga".

Dok. pribadi
Dok. pribadi
"Dulu orang tua saya berdagang di kabupaten, tapi tahun 60-an ada peraturan orang asing dilarang berjualan di kabupaten yang boleh hanya warga negara asing keturunan, bapak saya juga sudah tua jadi kami pindah kesini dan mau tidak mau saya lanjutin kalo tidak nanti tidak bisa lanjut hidup" ungkap Cahyadi tentang alasan memilih berdagang di Gang Jap Lun ini.

Sejak awal ditempati sudah banyak perubahan yang dialami para pedagang ikan asin di gang ini. Pak Cahyadi menurutkan, "Perubahan sangat nampak. Perubahannya kalau dulu ikannya murni, maksudnya tidak diolah dengan formalin jadi asli ditempat. Kalau sekarang karena umumnya diolah oleh generasi penerus dan niatnya ingin cepat, nerimanya ikan basah, kalau misalnya betul-betul mengolahnya itu lama. Kalau pakai formalin itu cepat dan warnanya lebih bening."

Kegiatan niaga di Gang Jap Lun hingga kini masih berjalan. Meski angka penjualan komoditi ikan asin terus menurun. Sebagaimana ungkapan Pak Cahyadi, "Kalau menurut perhitungan saya, tiap tahun pendapatan labanya semakin turun, karena turun itu waktunya banyak, pendapatan tidak seimbang dengan pengeluaran. Jadi, besar pasak dibandingkan tiang. Pengeluaran sehari-hari semakin bertambah tapi pendapatan semakin berkurang, kalau keuntungan mah pasti ada".

Dari garis waktu sejarah kita dapat melihat bahwa etnis Tionghoa dengan eksistensinya serta terus bertahan dengan cara mengelompokkan diri dan saling membantu satu sama lain.

Etnis Tionghoa keturunan merupakan bagian dari Indonesia. Sebagai sesama bangsa Indonesia kita juga harus menghargai antar etnis yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun