Terik matahari menyorot tajam di tengah siang Kota Bandung. Para penjual dan pembeli tampaik ramai di sepanjang jalanan di pinggir Pasar Andir. Jalan ini menghubungkan pada sebuah gang tua dan toko- toko yang masih bergaya kolonial.
Sejumlah Pedagang Tionghoa nampak berderet berniaga yang umumnya menjajakan ikan asin. Ya, betul ikan asin. Itulah Gang Jap Lun.
Jalan kecil ini yang menjadi saksi historis jejak kehidupan etnis Tionghoa sejak dulu hingga kini. Menurut Taniputera dalam bukunya yang berjudul History of China, "Terbentuknya pecinan di kota-kota Pulau Jawa, bermula ketika VOC menawarkan kondisi ekonomi terbuka bagi para pendatang dan bebas bertempat tinggal di mana pun di sekitar Batavia. Sehingg tidak heran jika di Bandung pun diberlakukan kebijakaan serupa.
Sebagaimana menurut Nina Herlina Lubis, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran dalam bukunya Sejarah Kota- Kota Lama di Jabar, "Pada 1809, etnis Tionghoa telah eksis di Bandung sebagai satu satunya pedagang yang diizinkan bermukim untuk berdagang beras.
Baru pada 1810 Deandels, Gubernur Jendral Belanda saat itu memerintahkan agar mulai dibangun wijk khusus hunian Tionghoa (Chineesche kamp).
Sejak awal kedatangan etnis Tionghoa datang ke Bandung untuk perdagangan. Tidak heran kini pemukiman etnis Tionghoa berada di sentral kota sebagai pusat perekonomian seperti di sekitar Stasiun Kereta Api Bandung, Pasar Baru, Pasar Andir, dan Jalan Raya Utama (Postweg) atau kini dikenal sebagai Jalan Soedirman. Namun, pemukiman Tionghoa di Kota Bandung memiliki keunikan dibandingkan pecinan lain di Pulau Jawa.
Pemukiman Tionghoa di Kota Bandung tidak memiliki batasan wilayah berbeda dengan pemukiman Tionghoa lain di Pulau Jawa.Â
"Hal ini dikarenakan etnis Tionghoa di Kota Bandung umumnya tidak banyak dibandingkan kota- kota besar di pulau Jawa seperti Yogyakarta, Semarang, dan Batavia. Sehingga tidak memerlukan pemantauan yang begitu serius," ungkap Ridwan pendiri Komunitas Aleut, yaitu komunitas apresiasi wisata sejarah di Bandung.
Yap Loen lahir 1874 di Batavia, dan kembali ke Jawa pada usia 12 tahun. Pada Perang Dunia I (1914-1918), ia menjadi seorang saudagar kaya karena usaha impor kain dalam jumlah besar dari Jepang pada saat Eropa berperang sehingga Eropa tidak mampu menyuplai barang ke Hindia Belanda.
Yap Loen menjadi perintis Gg. Luna (Lun-An; Yap Lun & Kok An), di daerah Jalan Waringin, belakang Pasar Andir. Daerah itu disebut sebagai kompleks Yap-lun, Yaploen straat, Yaploen plein. Di daerah itu terdapat sekitar 130 buah rowhouse ruko satu lantai khas Tionghoa. Perusahaan pengembangnya adalah "Jap Loen & Co." dan "NV Bow Mij Tjoan Seng.".Â