"Genyo?"
"Piye karepem?"
 Sebagai orang Jawa mendengar dua kata tersebut tentu akan asing.Dialek dari kota minyak, kota Bojonegoro ini adalah saru ragam bahasa Jawa Timuran yang cukup dikenal di wilayah eks karesidenan Bojonegoro (Bojonegoro, Tuban, Lamongan Nganjuk dan Blora). Kata genyo yang berarti 'kenapa' dan piye karepem berarti 'bagaimana maumu?'. Memang salah satu keunikan dari dialek Jonegoroan ini adalah penggunaan partikel khusus seperti (1) --leh, (2) --je, (3) --jal, (4) --jan, (5) --em , atau --nem, (6) --nyo, dan ( 7) -men. Â
Kesemuanya biasanya melekat pada kata tanya, penegasan, kata sifat, dan kata ganti milik. Misalnya partikel  --leh dapat melekat pada kata tanya dan penegasan, yaitu no endi leh? (ada dimana?) dan sisuk leh (besok).  salah satu yang unik misalnya partikel 5) --em , atau --nem yang melekat sebagai keterangan kata ganti milik yang berarti sama dengan partikel -mu.Â
Umumnya dipakai dengan rumus kata benda ditambah dengan partikel 5) --em , atau --nem, misalnya kata montor (sepeda motor) ditambah  --nem  menjadi montorem yang artinya sepeda motormu. Â
Pendataan awal terhadap dialek ini dilakukan oleh Komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) yang dalam pemetaannya menemukan 220 kosa kata lokal Jonegoroan.Â
Keunikan bahasa Jawa dialek Jonegoroan ini sebagaimana nasib bahasa daerah lainnya, tidak cukup mendapat tempat di rumah sendiri. Bahasa daerah yang berkembang di masa modern ini makin tersisih dengan munculnya ragam bahasa gaul dan bahasa slang yang makin populer di kalangan anak muda. Â Para generasi muda penutur bahasa Jawa dengan dialek Jonegoroan in menjadi makin merasa kurang memiliki bahasa ini.Â
Disadari atau tidak, media sosial adalah penyumbang terbesar perubahan pola penggunaan bahasa di wilayah publik dewasa ini. Keberadaan tren bahasa yang memiliki label 'keren' dan efek kesan 'kekinian' makin melekat dengan penetrasi media sosial ini. Dengan demikian dapatlah ditebak bagaimana nasib bahasa daerah termasuk bahasa Jawa dengan dialek Jonegoroan. Penggunaan bahasa Jonegoroan ini mulai terbatas pada penutur dewasa dan berusia tua. Konteksnya pun makin menyempit dari ranah kasual ke ranah acara sosial budaya dan ritual.Â
Bahasa ini masih lazim ditemui di pasar-pasar tradisional, ruang perbincangan dengan tetangga yang itu pun makin menepi ke daerah-daerah yang cukup jauh dari pusat pemerintahan maupun pusat aktivitas ekonomi. Di kalangan penutur dewasa, bahasa Jonegoroan tidak banyak berubah, hanya saja makin terbatas konteks pemakaiannya. Di ruang kerja dan wilayah formal seperti kegiatan sosial formal di tingkat desa misalnya, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa krama masih sering dipakai.
Pemakaian bahasa Jawa dialek Jonegoroan  yang utamanya membentuk identitas budaya Bojonegoro kini pun mulai disadari keberadaanya. Di masa kini banyak bermunculan upaya pelestarian bahasa Jonegoroan yang bukan hanya berbasis upaya institusional semata, tapi lebih pada kesadaran masyarakat atas perlunya pemakaian ragam ini secara nyata dan masif.Sebuah kolaborasi yang apik antara budaya dan kapital, muncul dalam bentuk yang tak biasa. Â
Sebagai contoh, banyak penggunaan bahasa Jonegoroan yang melekat pada sejumlah industri kecil dan menengah (UMKM). Sebut saja cafe "Kopinem" yang memberi ruang temu komunitas untuk ngopi  dan diskusi, serta adanya panggung pentas musik dan band indie. Adapula local clothing brand "Genyo!", BJN Cloth dan "Nayoh" yang berfokus pada penggunaan kata dan bahasa Jonegoroan yang unik, mengandung kritik dan tentu saja untuk menjadi bagian dari pelestarian bahasa lokal. Â
Anak-anak muda penggagas ide ini adalah salah satu motor yang paling efektif dalam pelestarian bahasa dan budaya secara umum. Â Bahkan dengan perkembangan usaha yang luas hingga pasar nasional, bukan tidak mungkin ini menjadi sebuah momentum yang baik dalam upaya pelestarian budaya daerah.
Sebuah strategi yang menarik tentu saja bahwa UMKM lokal dapat berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam tujuannya untuk menjaga kelestarian budaya. Pemerintah dan instansi terkait perlu menjadikan ini sebuah pendekatan yang  baru dalam upaya pelestarian bahasa dan lebih jauh penguatan identitas lokal. Â
Penghargaan pemerintah terhadap pelaku usaha yang menggunakan merek lokal dan bernuansa budaya lokal sangat perlu dilakukan. Pertama sebagai bentuk penghargaan atas upaya pengenalan budaya dan kedua sebagai stimulus akan munculnya bentuk merek lokal sejenis yang pada akhirnya akan mampu memfasilitasi adanya pemopuleran bahasa lokal, termasuk juga bahasa Jawa dialek Jonegoroan. Â
Termasuk juga bahwa UMKM dengan kebutuhannya atas produk yang mampu diterima pasar hendaknya didorong untuk memunculkan simbol dan identitas lokal itu dalam produk dan desain produknya. Simbiosis ini adalah sebuah upaya yang diharapkan memberi dampak positif bagi UMKM itu sendiri dan pengembangan budaya di ranah yang lebih luas. Â Oleh karena itu hal ini layak untuk terus diapresiasi dan distimulasi hingga menjadi bagian dari upaya yang sistematis bagi pengembangan bahasa, dan budaya secara lebih luas.
REFERRENSI:
Antono, Mixghan. (2020). PENANDA EMOTIF PARTIKEL JONEGOROAN. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Metalingua. 5. 41-44. 10.21107/metalingua.v5i1.7122.
Wahyuni, Ropa, and Eva Endah Nurwahyuni. "Commissive Speech Acts realization on regular talks: A study of Eastern-Javanese dialect in Bojonegoro and Surabaya Regions." (2017): 570-576.
https://www.jawapos.com/jpg-today/31/07/2018/menggali-bahasa-bojonegaran-budaya-lokal-bojonegoro/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H