Itu baru masalah kemiskinan, belum lagi masalah hutang yang menjadi salah satu nyawa perekonomian negeri ini.
Bank Indonesia mencatat utang Luar Negeri Indonesia pada akhir triwulan 2018 tercatat USD 376,8 miliar atau setara dengan Rp. 5.323 triliun. Jumlah ini adalah angka paling fantastis dalam sejarah perekonomian negeri ini.Â
Mengapa demikian? Sebab, selain adanya penambahan utang LN dari pemerintah juga karena pemerintah juga terbebani dengan bunga utang. Dan inilah yang tidak akan pernah menghentikan laju utang Indonesia. Sudahlah terbebani utang pokok yang luarbiasa besarnya, pemerintah juga dibebani bunga utang yang jumlahnya juga fantastis.Â
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2019 saja, beban bunga utang yang akan dibayar oleh pemerintah di 2019 ini diperkirakan mencapai Rp.275 ttiliun dan kemungkinan bisa membengkak hingga Rp. 474,8/triliun.(CNBN Indonesia). Itu baru tagihan bunganya saja.
Lalu, dari segi politik negeri ini masih memiliki segunung masalah kepemimpinan. Sebut saja kasus korupsi yang semakin hari semakin jauh dari kata manusiawi. Bahkan kasus korupsi berjamaah oleh Anggota DPRD Kota Malang menjadi bagian dari wajah pelaksanaan demokrasi di Indonesia.Â
Belum lagi mantan koruptor yang boleh nyaleg lagi, itu adalah kecacatan politik ke sekian kali yang tergambar jelas di negeri ini.
Demikian pula yang terjadi pada generasi dan kehidupan sosial kita saat ini.Dengan empat pilar kebebasan penegakan demokrasi, maka tak terbantahkan bagaimana kebebasan pergaulan anak negeri, tawuran yang mencerminkan radikalisme, dan ancaman kejahatan-kejahatan lainnya seperti kejahatan seksual, begal, penganiayaan bahkan KDRT terus meningkat tak terkendali tiap harinya.Â
Wajar, jika di dalam demokrasi para perempuan haus akan perlindungan dan kosong dari penjagaan kehormatan kecuali tiap-tiap mereka mengusahakan untuk melindungi dan menjaga kehormatannya sendiri. Miris!
Belum berhenti sampai di situ. Demokrasi juga melahirkan hukum yang timpang/dzalim bahkan represif. Hukum bisa dibeli, siapa yang berkuasa dialah yang berhak menguasai hukum dalam negeri, termasuk kondisi di mana hukum berpihak pada kawan dan menindas lawan adalah potret yang wajar dalam penegakan hukum ala demokrasi.Â
Dalam hal toleransi yang katanya menjunjung HAM, faktanya toleransi itu tidak diperuntukkan kepada umat Islam, tuduhan teroris radikal terhadap para pejuang Islam kaffah, mengkritisi kata kafir di dalam Al Qur'an sebagai kekerasan teologis, dan kasus pemberhentian dosen bercadar Hayati Syafri menghiasi wajah asli demokrasi.
Dari sepakterjang perjalanan demokrasi di negeri ini, sebetulnya telah cukup dijadikan bukti bahwa demokrasi harus segera diganti.Â