Â
Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Perkembangan jurnalisme di Indonesia sudah sangat berkembang dengan pesat. Jurnalisme Indonesia saat ini sangat identik dengan teori jarum suntik (Hypodermic Needle Theory). Teori ini menekankan bahwa media memiliki power yang kuat untuk mempengaruhi audiens.
Pada teori jarum suntik ini, audiens secara pasif menerima informasi atau berita begitu saja dari media. Namun audiens menerima informasi atau berita tersebut tanpa melalui proses memilah atau melakukan riset terlebih dahulu. Sehingga audiens tidak dapat memberikan feedback ataupun komentar dan kritik untuk para media. Maka dari itu dikatakan teori jarum suntik dimana audiens di suntikkan segala berita dari mana saja asalnya tanpa ada penolakkan.
Jurnalisme saat ini menggunakan proses news gathering, dimana wartawan mencari dan meliput suatu peristiwa-peristiwa yang ada di lapangan, setelah itu proses penulisan, editing, dan akhirnya proses distiribusi penyebaran berita kepada audiens.
Perkembangan jurnalisme saat ini terus bergerak mengikuti perkembangan zaman. Jurnalisme saat ini lebih bergerak pada mode horizontal transaksional. Dimana audiens tidak lagi hanya diam atau menerima informasi begitu saja. Namun audiens dapat memberikan kritik atau komentarnya terhadap suatu berita atau informasi.
Audiens Konsumen Sekaligus Produsen Berita
Audiens kini menjadi prosumer 'produsen sekaligus konsumen'. Dimana audiens tidak hanya menjadi penikmat dari sebuah konten media, namun audiens menjadi produsen dari sebuah informasi atau berita. Audiens menggunakan sosial media karena hampir seluruh masyarakat Indonesia menggunakan sosial media. Sosial media yang digunakan sepeti instagram, tiktok, twitter, dan masih banyak lagi.
Jurnalisme saat ini mengandalkan media sosial sebagai patform terbesar yang mendistribusikan sebuah berita atau informasi secara cepat. Perputaran atau penyebaran dari platform sosial media memiliki jangka waktu yang pendek dan juga sangat meluas. Oleh karena itu kebanyakan stasiun televisi menggunakan sosial media sebagai platform mendistribusikan informasi atau beritanya.
Menurut Haryanto (2014, 172) jurnalisme saat ini menggunakan prinsip 'content is the king'. Jadi memaksa jurnalisme masa kini terus berinovasi dalam membuat konten-konten baru dan update. Juga audiens dapat beradaptasi juga menikmati dari konten-konten baru, sehingga audiens juga dapat mengembangkannya dengan cara memberikan feedback kepada media.
Perkembangan media digital membuat audiens menjadi semakin cerdas dalam memilah dan bersikap kritis. Kehadiran internet membuat audiens memiliki pola pikir serta ilmu pengetahuan yang cukup luas. Apalagi ada mesin pencari yang menbantu memudahkan manusia untuk mencari atau mengakses informasi dengan sangat mudah.