Mohon tunggu...
Yulicia
Yulicia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta, prodi Ilmu Komunikasi

ayok kenalan, pepatah bilang tak kenal maka tak sayang kalau udah kenal boleh panggil sayang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jadi K-pop Bukan Berarti Bencong, Tatoan Bukan Berarti Jahat

22 Maret 2021   00:56 Diperbarui: 22 Maret 2021   01:21 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada masa teknologi yang sudah canggih ini, banyak sekali individu maupun kelompok yang dapat menyebarkan sesuatu dengan mudah. Hal-hal yang disebarkan dapat berupa konten, kebiasaan, atau lainnya. Hal ini membuat setiap individu ataupun kelompok yang menikmatinya membawa hal tersebut ke realita. 

Hal tersebut menjadi kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh masyarakat bahkan hingga menjadi suatu budaya. Hal tersebut dinamakan oleh budaya populer. Menurut Mukerji (1991), budaya populer mengacu kepada praktik, kepercayaan, atau objek yang tersebar luas di masyarakat. Budaya populer ini muncul atau dibentuk oleh masyarakat, dimana masyarakat mempopulerkan suatu konten, kebiasaan, atau hal lain yang sehingga masyarakat yang lain mengikuti hal tersebut.

Budaya populer yang saya angkat adalah musik serta tarian KPOP. Hal ini sudah merajarela ke kaum perempuan maupun laki-laki. Dimana dari musik, tarian, hingga penampilan para band-band Korea ini disukai oleh masyarakat Indonesia. Bahkan hingga ada yang rela menghabiskan uang berjuta-juta hingga mengoperasi wajahnya menjadi mirip dengan artis Korea yang di idolakan. Hal ini marak terjadi kepada kaum-kaum yang suka dengan KPOP. 

Namun masalahnya terkadang laki-laki yang menyukai band Korea kerap disebut dengan 'bencong'. Dapat dilihat bahwa tidak adanya kesetaraan gender. 

Menurut Agnes Heller (2002), politik identitas sebagai gerakan politik yang berfokus kepada perbedaan. Maka dari itu terlihat bahwa laki-laki sebaiknya tidak menyukai band-band Korea, namun pada faktanya tidak ada yang melarang laki-laki boleh menyukai band Korea.

Selain adanya budaya populer sekarang adanya budaya-budaya yang bertentangan dengan budaya pada umumnya. Hal ini dinamakan dengan subkultural. 

Menurut Gordon (1947), bagian dari cabang budaya nasional merupakan faktor-faktor sosial seperti adanya status kelas, latar belakang etnis, tempat tinggal regional, agama, dan suku tetapi hal tersebut membentuk suatu kombinasi yang dapat menarik partisipasi masyarakat. Subkultural ini biasanya bertentangan dengan budaya pada umumnya, hal tersebut sering terjadi karena adanya penolakan yang terjadi. Subkultural erat kaitannya dengan pemberontakan. Oleh karena ini subkultural jarang diterima oleh masyarakat banyak.

Subkultural yang saya angkat adalah cewe tatoan dan cewe perokok. Pada hal ini banyak sekali terjadi bahkan saya melihat di Universitas Atma Jaya Yogyakarta ada cewe yang merokok dan ada cewe yang tatoan. Pada budayanya tato dan rokok hanya diperuntukkan untuk laki-laki. Namun saat ini perempuan juga ada yang tato dan merokok. Namun penilaian-penilaian masyarakat sering sekali cenderung ke arah yang negaitf. 

Masyarakat melihat cewe yang tatoan atau cewe yang merokok biasanya merupakan cewe yang berkerja di dunia malam. Padahal tidak semuanya seperti itu, ada cewe tato dan merokok namun ia sering menggalang dana untuk orang-orang yang kesusahan. Bahkan ditempat saya tinggal yaitu di Pekanbaru, Riau seorang ibu-ibu yang memiliki tato dan perokok, ia membuka sebuah panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu. Ibu tersebut bernama Ibu Dian, ia seorang yang ditinggalkan kedua orang tuanya dan ia di besarkan oleh orang tua angkatnya. Dari hal itu menggerakkan hatinya untuk membangun sebuah panti asuhan untuk anak-anak yang tidak memiliki orang tua. 

Dapat dilihat bahwa diskriminasi gender terjadi, tidak adanya kesetaraan gender. Politik identitas ini membantu agar perempuan yang tato maupun merokok dapat diterima oleh masyarakat luas. Sehingga mereka tidak merasa terasingkan ataupun merasa dikucilkan oleh masyarakat. Kesetaraan gender harus lebih diperluas dan diketahui oleh banyak orang, sehingga subkultural yang ada dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Daftar Pustaka :

Wilujeng, P, R. (2017). Girls Punk : Gerakan Perlawanan Subkultural di Bawah Dominasi Maskulinitas Punk. Jurnal Sosiologi, 1(1), hal 103-115.

Ridaryanthi, M. (2014). Bentuk Budaya Populer dan Konstruksi Perilaku Konsumen Studi Terhadap Remaja. Jurnal Visi Komunikasi, 13(1), hal 87-104.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun