“Uang bukan segalanya”, pepatah tua yang dicekokkan ibu saya dulu waktu saya masih SMA. Doktrin kuno yang mendarah daging dalam kultur orang-orang timur. Tapi cobalah berjalan ke taman kota, terminal bis bahkan ke kuburan sekalipun. Tidak ada yang gratis di sana. Membuang air kecil saja harus mengeluarkan uang, apalagi air besar, walaupun toilet yang kita pakai hanya sekejap itu kotornya seperti kubangan kerbau dan aromanya semerbak bunga bangkai.
Di kuburan malah lebih parah, manusia yang telah mati pun seolah bersaing untuk menunjukkan kelas dan status sosialnya. Nisan marmer putih bersaing dengan nisan pualam hitam, makam keramik bersaing dengan makam bercungkup indah, sampai-sampai malaikat Munkar-Nakir dibuat geleng-geleng kepala melihat kuburan-kuburan megah itu. Betapa matrealistisnya manusia.
Begitu pun dengan saya, walaupun saya bukan pemuja harta dan uang bukan segalanya, tapi fakta berbicara segalanya butuh uang. Saya menulis untuk tiga alasan yang telah saya ceritakan sebelumnya. Toh kalaupun ada uang yang saya peroleh dari tulisan-tulisan saya, rasanya itu tidak sebanding dengan galaunya jiwa saat memegang pena, dalamnya dahi yang berkerut untuk merajut kata atau waktu yang berlalu untuk merangkai cerita. Itu karena saya masih pemula, masih amatir dan anak kemarin sore dalam rimba literasi Indonesia.
Mimpi saya tidak muluk-muluk kok, saya hanya ingin dikenal lewat karya yang saya ciptakan. Tidak perlu menjadi sebesar Daeng Khrisna Pabichara yang karya best seller Sepatu Dahlannya sudah menjadi koleksi rak buku saya sejak lama. Juga tidak perlu menjadi sehebat Andrea Hirata yang menjadi kaya raya atas royalti dari berbagai negara di dunia yang mengalih bahasakan novel fenomenal Laskar Pelanginya.
Tuhan hanya menciptakan orang seperti Daeng Khrisna dan Andrea Hirata satu kali dalam kehidupan dunia ini. Tidak ada kloning dalam kamus Tuhan. Sekeras apapun saya berusaha, saya tidak akan bisa menjadi Khrisna Pabichara atau Andrea Hirata kedua. Cukuplah bila saya bisa menjadi diri saya sendiri, menjadi seorang penulis yang mempunyai ciri khasnya sendiri walaupun karya saya cuma dihargai seharga nasi bungkus kaki lima dan lebih murah dari harga rokok putih menthol light yang digandrungi suami saya.
Tapi bila anda bertanya pada saya dengan pertanyaan yang sama satu tahun yang akan datang, "mengapa saya menulis?", mungkin jawaban saya akan berbeda lagi. Karena pada saat itu muara yang tercipta telah menjadi lautan karya, jiwa saya telah abadi bersama waktu atau malah saya sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana anda itu.
Anda tahu mengapa?
Karena mungkin satu tahun lagi, saya sudah sibuk bercengkrama dengan Tuhan saya di sana.
Salam takdhim,
Yulia Yusuf
Penikmat sastra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H