Mohon tunggu...
Yulia widayati
Yulia widayati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Personal blog

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi dan Pantangan di Desa Tulungrejo Kecamatan Pare Kabupaten Kediri

6 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 8 Mei 2020   17:04 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi adalah suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi kegiatan turun menurun dari suatu daerah  tersebut. Tradisi yang ada di Desa Tulungrejo adalah "Bersih Deso" atau syukuran. Syukuran adalah ucapan rasa syukur. Dalam arti lain syukuran adalah mengadakan selamatan untuk bersyukur kepada Allah SWT (karena terhindar dari musibah). Bersih Deso dalam bahasa Indonesia berarti "Bersih Desa".

Tradisi Bersih Desa ini merupakan kegiatan bersih-bersih desa dan haul Mbah Nur Wakid. Kegiatan ini rutin  diakan setiap setahun sekali tepatnya pada (Rabu Legi Wulan Selo). Tujuannya untuk melestarikan tradisi dan budaya setempat, sekaligus wujud syukur atas berkah dan rahmat yang telah diberikan pada Allah SWT. Serta mengenang jasa-jasa sesepuh desa dan memperingati hari meninggalnya almarhum Mbah Nur Wakid. Mbah Nur Wakid adalah sesepuh yang pertama kali babat hutan yang sekarang menjadi Desa Tulungrejo Kecamatan Pare Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Makam Mbah Nur Wakid dan mushola Mbah Nur Wakid letaknya berdekatan. Dan lokasi keduanya  berada di jalan Brawijaya desa Tulungrejo Kecamatan Pare Kabupaten Kediri, Jawa Timur.    

Kegiatan ini dilakukan sejak pagi hingga malam hari di masjid Mbah Nur Wakid, dan membuat Tumpeng sebagai wujud syukur kepada Allah SWT serta menjauhkan dari tolak balak. Dan malam hari sebelum hari H akan diadakan kegiatan Khataman Al-Qur'an di mushola Mbah Nur Wakid sekaligus mushola-mushola yang ada di desa Tulungrejo.

Pada pagi hari semua warga Tulungrejo disibukkan dengan bagiannya masing-masing. Ada yang bersih-bersih makam, mushola dan ada juga yang membuat tumpeng sebagai simbol dari acara tersebut dan warga lainnya yang tidak kebagian tugas disuruh membuat berkat (nasi kotak) dan dibawa ke mushola Mbah Nur Wakid. Namun ada juga yang dibawa ke mushola dekat rumah masing-masing warga. Setelah itu warga melakukan kirab bersama, mengelilingi desa Tulungrejo dengan memakai pakaian jawa yang bercorak garis-garis dan khusus laki-laki memakai blangkon, serta diiringi Rebana.

Dokpri
Dokpri
Kemudian warga menuju ke Mushola Mbah Nur Wakid untuk melakukan doa bersama ditujukan kepada Nabi Muhammad serta almarhum Mbah Nur Wakid, meminta perlindungan kepada Allah SWT serta mendoakan para leluhur agar ditempatkan di sisi Allah SWT dan dijauhkan dari musibah atau mara bahaya yang akan menimpa desa maupun warga desa Tulungrejo. Kemudian dilanjutkan dengan acara Tahlil bersama. Lalu acara selanjutnya adalah makan bersama sebagai simbol kerukunan warga.

Setelah itu dilanjutkan dengan acara pengajian akbar. Warga juga bisa mengikuti pengajian tersebut yang dilaksankan di mushola Mbah Nur Wakid. Biasaya banyak penjual makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Dan mengundang Yai atau Gus sebagai penceramah di pengajian akbar tersebut. Warga pun sangat antusias menjalankan tradisi Bersih Desa bahkan anak Kampung Inggris pun juga ikut serta mengikuti kegiatan tersebut tanpa paksaan dari siapapun dari pagi hingga malam. Dan meraka sangat senang mengikuti kegiatan itu.

Namun dari serangkaian tradisi tersebut di desa Tulungrejo juga mempunyai mitos dalam tradisi, yaitu pantangan atau hal yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat tersebut. Dan itu sudah ditentukan oleh Danyang setiap masing-masing desa. Danyang menurut warga sekitar adalah sesepuh yang babat desa. Danyang yang di desa Tulungrejo adalah Mbah Nur Wakid.

Pantangan tersebut adalah dilarangnya memainkan alat musik Jawa, seperti Gamelan, Gong, dan alat musik jawa lainnya yang biasanya mengiringi Wayang dan Jaranan. Konon katanya beliau (Mbah Nur Wakid) tidak suka dengan alat-alat musik jawa tersebut. Beliau sukanya dengan rebana atau pencak silat. Menurut sesepuh dan warga sekitar apabila di desa Tulungrejo ada yang ingin mengadakan acara dan acara tersebut mengundang Wayang atau Jaranan di desa Tulungrejo, maka keluarga dari yang ingin mengadakan acara tersebut akan mendapatkan mala petaka. Warga di desa Tulungrejo pun juga ada yang melanggar pantangan tersebut kemudian warga tersebut mendapatkan musibah yang sangat besar, entah itu salah satu keluarganya meninggal atau bangkrut kalau tidak pindah dari desa tersebut. 

Pada zaman sekarang banyak orang yang menyepelekan hal-hal tersebut. Namun tradisi atau pantangan yang telah ada sejak dulu merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan dan di pertahankan, kalau bukan kita sebagai penerus bangsa siapa lagi? Melalui tradisi ini, toleransi dan kerukunan warga desa bisa terus dipupuk. Selagi tradisi-tradisi tersebut tidak menjurus ke hal yang menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa, kenapa tidak kita lestarikan dan pertahankan karena semua itu adalah warisan dari nenek moyang kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun