Mohon tunggu...
Humaniora

Sejarah Pengelompokan dalam Islam

28 Desember 2016   12:14 Diperbarui: 28 Desember 2016   12:25 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilmu pengetahuan memang sudah menjadi corak symbol bagi manusia,sehingga manusia itu sendiri dapat mengetahui eksistensi kehidupan. Ada yang baik, ada yang buruk, ada yang hak, dan ada yang batil pula.

Maka dari situlah pengkajian tentang klasifikasi keilmuan dalam islam perlu di bentuk untuk mengetahui seberapa jauh manusia itu dapat beretika, ber moral,

Atau dalam islam itu dikenal dengan perbuatan akhlak dan spiritualisasi nafsu  Keilmuan dalam islam senyatanya sudah banyak diklasifikasi kan oleh para ilmuan muslim, seperti al-ghazali dalam ar-risalah al-ladunniyyah-nya, al-khawarizmi dalam al-ulim-nya, dan ibnu-nadhim dalam al-fihris-nya. Selain itu para ulamak pun juga menyepakati tentang pengelompokan ilmu dalam islam, seperti halnya dalam penyelenggaraan pakar pendidikan yang terkonfermasi internasional tentang pendidikan yang diadakan di Pakistan, mekkah, dan Jakarta yang sudah disepakati pula tentang pengelompokan ilmu dalam islam itu sendiri, yang dijadikan dua kategori menurut kesepakatan para filosof, yaitu ilmu yang di wahyukan (revealed knowledge), dan ilmu yang dikembangkan oleh nalar pola piker manusia (acquered knowledge ).

Senyatanya, para ilmuan atau pemikir muslim dalam mengembangkan metode ilmiah secara signifikan berbeda dengan metode yang di kembangkan oleh para pemikir barat. Seperti yang telah dikemukakan oleh khoiruddin nasution, kalau ilmuan muslim mengembangkan dengan  cara metode epistimologi (bayani, burhani, irfani) yang sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya, sementara para ilmuan barat hanya menggunakan satu macam metode ilmiah, yaitu metode observasi.Menurut, Muhammad Abed al-jabiri, seorang pemikir muslim kontemporer asal maroko,

Juga membuat pengklasifikasian ilmu dalam islam secara epistemology. Menurutnya, nalar pemikiran dalam islam dapat dikategorikan kedalam tiga epistemology, yaitu epistemology bayani, burhani dan irfani. Yang mana pemikiran tersebut di tuangkan dalam karyanya, yang berjudul takwin al-‘Aql al-‘Arabi.

Pertama, bayani (observasiatauexplanatori),dalam epistemology islam bayani adalah pendekatan dengan cara menggunakan teks, sebagai sumber ilmu pengetahuan yang utama, jadi dalam pemahamannya langsung mengaplikasikan hasil dari teks itu sendiri tanpa memerlukan suatu pemikiran terlebih dahulu. Akan tetapi,  secara tidak lansung bayani ini berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran,  namun akal dan rasio tidak langsung bebas menentukan atau menetapkan makna dan maksudnya, tetapi harus tetap bersandar pada teks, sehingga dalam bayani akal dan rasio dianggap tidak mampu untuk memberikan pengetahuan kecuali di sandarkan pada teks terlebih dahulu. Adapun sumber epistemology bayani ini bersumbar dalam teks keislaman, yang dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua, yaitu: 1) teks nash “al-qur’an dan as-sunnah”, 2) teks non-nash “yang berupa karya para ulama”

Dari rumpun yang telah di klasifikasiakan diatas, dapat di perjelas ulang bahwa model berfikir bayani, bahwa akal hanya berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu semata. Akal cenderung menjalankan fungsi jastifikasi, repetitif, taqlidy, dan otoritas dalam teks, sehingga hasil pemikiran tidak boleh bertentangan dengan teks. Yang dijadikan tolok ukur kebenaran epistemology ilmu bayani adalah adanya kesempurnaan atau kedekatan antara teks atau nash dan realitas “non-nash”.

Kedua, tentang pengetahan epistemology burhani, kalau bayani sumber dari pengetahuan yang di dapat melalui teks, maka burhani adalah sumber pengatahuan yang di dapat melalui realitas “al-waqi’”, baik dari alam, sosial, dan humanitis. Maka dari itu ilmu bayani ini sering di sebut dengan al-ilmulkhuzuli,yaitu pengetahuan yang di dapat melalui premislogika akal atau rasio “al-ilmun mantiq dan belaghah”,   semua berprinsip pada akal untuk mencari sebab akibat dan konsep, di susun dan di sistematisasikan lewat premis-premis akal secara logika, bukan lewat pada otoritas teks dan intuisi lagi.

Pola piker ini berpangkal pada prinsip dasar yang digunakan, yaitusebab akibat, kausalitas,  kepastian. Maka diperlukan suatu macam pemikiran tentang kefilsafatan yang berteologi bebas, kreatif, logika, kritis, sistematis, dan radikal. Sehingga dalam menyelesaikan problem atau dalam pengembangan ilmu nya mempunyai kesadaran pandangan tentang apa yang ada di sekitarnya dan aktif dalam memberikan alternative pemecahan, baik dalam argument, tulisan, pembuktian tindakan, deskripsi, dan elaborasi tentang sesuatu. Dan keilmuan yang termasuk dalam nalar ini yang pertama adalah filsafat, ilmu alam “fisika, matematika, biologi, dan kedokteran”, ilmusosial “sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah”.

Pada intinya, pengetahuan yang di dapat oleh epistimologi burhani ini bersumber dari pengembangan pikiran akal manusia semata. Jika melihat pernyataan al-qur’an maka tentu sudah banyakan juranayat yang memerintahkan pada amanusia untuk selalu berpikir menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang masuk dalam benak kita maupun realita yang terjadi. Banyak ayat yang berbicara tentang pentingnya bepikir, membaca keadaan, bukan hanaya membaca buku, dengan ayat: afalata’kilun, afalatatafakkarun, afalatadabbarun, iqrokbismirobbikalladikholaq.Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa akal pun mendapatkan pengetahuan dan kebenaran selama iamasi digunakan dalam wilayahnya yang benar.

Ketiga, irfani adalah pengklasisifikasian tentang pengetahuan yang telah di dapat, sumber pengetahuan melalui pengalaman, baik dalam metode bayani maupun burhani. Yang dimaksud dalam pengalaman tersebut adalah pengalaman langsung, scara panca indra maupun karakteristik naluri, dan perinsipnya adalah lebih merujuk pada batin dan zahir seseorang, batin mempunyai status yang lebih tinggi dalam kenyataan yang di sebut dengan pengalaman. Senyatanya dalam nalar irfani dan bayani sama-sama ada analogi, tetapi keduanya berbeda, kalau dalam nalar irfani ini didasarkan pada penyerupaan atau pengalaman, namun tidak terikat dengan aturan, sementara dalam nalar bayani didasarkan dalam penyerupaan langsung yaitu pada nash atau teks.

Secara gamblangnya kerangka teori yang di pakai dalam nalar ini adalah melalui dari dahir kebatin “hakiki dan majazi”. Nalar ini lebih bebas dalam memahami Sesutu, seperti halnya tolok ukur nalar irfani adalah memahami perasaan orang lain, simpati, empati, loyal dan lain sebagainya. Dan hasil keputusannya bukan merujuk pada teks dan  hasil pikiran seperti halnya bayani dan burhani, melainkan pada orang lain atau pihak yang lain, kesimpulan hanya muncul ketika mendengar pemahaman dan perasaan orang lain melalui pengalaman zahir atau pun batinnya. Dan keilmuan yang termasuk dalam irfani ini di kategorikan dengan ilmu tasawwur dan akhlak.

Dengan pempetakan dan pengklasifikasian penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya metodologi pemikiran bayani bersumbsr pada teks, baik nash maupun non-nash. Burhani bersumber pada akal atau rasio dan empirical. Irfani bersumber dari kasf, atau pengalaman kebatinan. Dengan demikian katig acara atau metode dalam epistemology islam untuk mengetahui atau menangkap objek-objek ilmu, pertama melalui indra atau pembacaan pada teks yang sangat kompeten untuk mengenal objek-objek fisik dengan cara mengamatinya, kedua melalui akal atau rasio yang mampu mengenal bukan hanya saja benda-benda indrawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara menyimpulkan dari yang telah di ketahui menuju yang tidak diketahui, ketiga hati yang menangkap objek-objek non-fisik atau metafisik melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir  dalam jiwa manusia melalui pengalaman batin. Secara eksistensinya, seluruh rangkaian wujud yang menjadi objek ilmu pengetahuan yang fisik maupun non-fisik dapat diketahui secara nyata oleh manusia.

RUJUKAN PENULISAN

  • Lois o. kattsoff, pengantarfilsafat, tiara wacana, Yogyakarta, 2004
  • Mulyadikartanegara, mengislamkannalar, erlangga, Jakarta, 2007
  • Kherudinnasution, pengantarstudiislam, tazzafa, Yogyakarta,
  • Mulyadi kata negara, menembuswaktu panorama filsfatislam, mizan, bandung, 2002
  • Fahrimajid, sejarahfilsfatislamsebuahpetakronologis sari filsafatislam, mizan, bandung, 2001
  • Madkour Ibrahim, alirandanteorifilsafatislam, bumiaksara, Jakarta, 1995

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun