Mohon tunggu...
Yulia Ratnasari
Yulia Ratnasari Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis

Simply Yulia, currently working as an executive during the day and painting and or writing during the night. You'll either find her wandering around the CBD looking at the moody sky or spacing out questioning life.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Hal yang Saya Pelajari di UNICEF: yang Ternyata Bukan Gombal

14 Desember 2017   11:56 Diperbarui: 14 Desember 2017   12:18 4610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bandara Juanda Terminal Satu di bulan September 2017, panas setengah outdoor hingga AC tidak terasa, macam-macam manusia lewat di depan gerbang keberangkatan, ada yang lari-lari, ada yang calo, dan ada yang menangis mengantar orang yang dikasihi. Disitu ada anak-anak muda menawarkan untuk menjadi donatur UNICEF, salah satunya saya. Dalam gap semester (biasanya gap year, periode setelah lulus dan sebelum kerja, tapi saya memutuskan hanya 6 bulan saja) saya lompat-lompat industri dan pada akhirnya, saya mencoba menjadi Fundraiser UNICEF.

Ada banyak saluran untuk menggalang dana NGO dan NPO: 1) Kerjasama dengan korporasi, melalui aktivitas CSR, ikan besar; 2) Dari perorangan, sebagai orang tua asuh, ikan kecil berjumlah banyak. Saya mencoba yang kedua: Face2Face (F2F) Fundraiser, kasarannya mirip seperti sales, tapi sales donasi: yang membeli tidak mendapat timbal balik secara langsung, hanya laporan akuntabilitas.

UNICEF menerapkan SOP paten F2F Fundraiser di seluruh dunia, konten yang diucapkan, gesture, dan gaya bicara harus mengikuti standard. Sangat tidak fleksibel. Salah satunya "stop everyone" dan "never judge", kata Mbak Femy, supervisorku. Halah, mbak, notion mainstream seperti itu kan cuman pelengkap dan tetebengek..

Ternyata tidak.

Tiga hari saya di airport, ada 2 orang yang mengubah cara pandang saya.

Pada hari pertama, Selasa di siang hari, saya mendatangi dua perempuan 25an yang lagi hpan, sepertinya saudara, berpakaian casual rapi dengan cullotes hitam panjang berdiri di atas Salvatore dan sol merah. Satu membawa Balenciaga kuning dan yang sol merah, Chanel classic hitam. "Hai pernah dengar tentang UNICEF?", sapaku. Melirik, buang muka.

Diam. Awkward. Aku lirik hpnya, oh lagi scroll instagram.

"Pernah dengar?" aku tanya lagi biar tidak awkward.

"Maaf ya, sibuk" jawab si Balenciaga dengan muka sangat ketus dan nada sangat terganggu.

Oh wow. Lalu mereka menjauh, masuk Starbucks, duduk dan hpan.

Wow. Nada teranggu yang saya dengar seperti itu tidak gampang diucapkan, lho. Butuh temper yang sangat buruk dan latihan bertahun-tahun.

Di hari kedua, seorang pramugari berseragam Citilink lewat, saya stop karena ada target encounter dalam sehari. Orangnya murah senyum, rambut hitam bop, kulit kuning langsat, tidak terlalu tinggi tapi proposional, namanya Sinta. Ngomong-ngomong sebentar tentang UNICEF, sangat antusias dan atentif, dia qualified umur dan punya kartu kredit, presentasi, closing "100,000 per bulan atau 3,300 per harinya pasti mau yah buat bantu anak-anak? Pasti mampu, yah?"

"Saya sering limit, tapi saya usakan" katanya. Dan, closing. Wow.

100,000 rupiah per bulan = Starbucks dua grande = ngafe sekali = nonton premier sekali

Perbandingannya, 100,000 rupiah bagi mid-upper class lebih tidak berarti dibanding anggota strata bawah menengah dan bagi kita yang bekerja.

100,000 rupiah bagi self-made man lebih berharga daripada para highborn.

Mengapa? "Karena waktu kecil saya merasakan sulitnya makan dan membiayai sekolah. Sekarang saya lumayan mampu dan mau membantu, saya tahu rasanya susah", kata Sinta.

Tapi pada akhirnya, kita tidak bisa judge siapapun: ada orang yang tidak percaya pada NGO, pemerintahan, hukum dan agama. Mereka mengatakan gaji UN terlalu tinggi dan gaya hidupnya terlalu lavish. Banyak juga yang mau menyumbang tapi 100% harus ke anak-anak, tanpa ada proporsi ke biaya operasional. Tapi, sebuah organisasi bisa bernafas dan berkesinambungan hanya jika biaya operasional tercukupi.

Anyway, banyak orang berdandan kaya dan tidak kaya yang sadis, banyak juga yang sangat gencar mau menyumbang. Yang mau saya tekankan dan yang saya pelajari selama tiga hari sebagai staf UNICEF lapangan: kita bisa menilai orang dari bagaimana mereka memperlakukan, menanggapi orang yang tidak berarti, tidak selevel, dan tidak mempengaruhi hidup kita (pada kasus ini, saya, seorang sales pejuang hak anak-anak).

Istanbul Atatürk Airport,  24 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun