Di hari kedua, seorang pramugari berseragam Citilink lewat, saya stop karena ada target encounter dalam sehari. Orangnya murah senyum, rambut hitam bop, kulit kuning langsat, tidak terlalu tinggi tapi proposional, namanya Sinta. Ngomong-ngomong sebentar tentang UNICEF, sangat antusias dan atentif, dia qualified umur dan punya kartu kredit, presentasi, closing "100,000 per bulan atau 3,300 per harinya pasti mau yah buat bantu anak-anak? Pasti mampu, yah?"
"Saya sering limit, tapi saya usakan" katanya. Dan, closing. Wow.
100,000 rupiah per bulan = Starbucks dua grande = ngafe sekali = nonton premier sekali
Perbandingannya, 100,000 rupiah bagi mid-upper class lebih tidak berarti dibanding anggota strata bawah menengah dan bagi kita yang bekerja.
100,000 rupiah bagi self-made man lebih berharga daripada para highborn.
Mengapa? "Karena waktu kecil saya merasakan sulitnya makan dan membiayai sekolah. Sekarang saya lumayan mampu dan mau membantu, saya tahu rasanya susah", kata Sinta.
Tapi pada akhirnya, kita tidak bisa judge siapapun: ada orang yang tidak percaya pada NGO, pemerintahan, hukum dan agama. Mereka mengatakan gaji UN terlalu tinggi dan gaya hidupnya terlalu lavish. Banyak juga yang mau menyumbang tapi 100% harus ke anak-anak, tanpa ada proporsi ke biaya operasional. Tapi, sebuah organisasi bisa bernafas dan berkesinambungan hanya jika biaya operasional tercukupi.
Anyway, banyak orang berdandan kaya dan tidak kaya yang sadis, banyak juga yang sangat gencar mau menyumbang. Yang mau saya tekankan dan yang saya pelajari selama tiga hari sebagai staf UNICEF lapangan: kita bisa menilai orang dari bagaimana mereka memperlakukan, menanggapi orang yang tidak berarti, tidak selevel, dan tidak mempengaruhi hidup kita (pada kasus ini, saya, seorang sales pejuang hak anak-anak).
Istanbul Atatürk Airport,  24 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H