Permasalahan tentang pelanggaran hak anak memang masih menjadi masalah yang belum terselesaikan termasuk di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia sepanjang tahun 2021 mencatat ada setidaknya 5.953 kasus pelanggaran hak anak. Pelanggaran hak anak adalah tindakan seseorang ataupun sekelompok orang, baik secara sengaja maupun tidak disengaja yang secara hukum menghalangi, mengurangi, membatasi , hingga mencabut hak anak. Indonesia sendiri telah memiliki peraturan terkait perlindungan hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 pasal 13 ayat 1 tentang perlindungan anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan  diskriminasi, eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
Salah satu fenomena terkait pelanggaran terhadap anak adalah fenomena anak jalanan. Menurut UNICEF anak jalanan adalah anak yang berusia sekitar di bawah 18 tahun yang bertempat tinggal di wilayah kosong dan tidak memadai, serta biasanya tidak ada pengawasan. Anak yang menjadi anak jalanan memiliki alasan mengapa mereka memilih jalan tersebut. Beberapa faktor yang mendorong mereka menjadi anak jalanan beragam seperti ketidakharmonisan keluarga, krisis identitas pada usia anak atau remaja, dan yang paling banyak ditemui adalah faktor kemiskinan.Kemiskinan menjadi faktor pendorong yang melatarbelakangi anak-anak untuk hidup pada jalanan yang rentan eksploitasi dan kriminalisasi. Berdasarkan data dari Kementerian Sosial jumlah anak terlantar di Indonesia sebanyak 67.368. Dari data tersebut dapat diartikan bahwasannya fenomena dan kasus anak jalanan di Indonesia masih menjadi permasalahan yang belum menemui jalan keluar.
Anak jalanan yang berasal dari tekanan kemiskinan kerap kali harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan baik kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan keluarga mereka. Situasi ekonomi yang serba terbatas menjadikan anak yang pada perannya belum cukup umur untuk bekerja justru harus ikut dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Orang tua kerap kali membiarkan anak mereka untuk mengemis, mengamen, berjualan, dan melakukan aktivitas di jalanan yang menghasilkan uang. Orang tua melakukan pembiaran agar memperoleh keuntungan yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (Astri, 2014). Keterbatasan ekonomi juga menjadikan anak jalanan ini harus terpaksa putus sekolah atau bahkan tidak mengenyam bangku sekolah sama sekali. Padahal dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal ini mengamanatkan bahwa semua warga negara, termasuk anak-anak yang memiliki keterbatasan atau yang berada dalam kondisi kurang beruntung, berhak mendapatkan pendidikan, terutama pendidikan Sekolah Dasar.
Sebenarnya memilih untuk tidak bersekolah bukanlah pilihan yang mereka inginkan. Desakan ekonomi yang membuat anak jalanan harus memilih menjadi pekerja yang mampu menghasilkan pendapatan. Hal ini yang membuat anak jalanan rentan mengalami kekerasan, eksploitasi, dan kriminalisasi. Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum yang menjadikan anak sebagai pekerja seperti mengamen, mengemis, berjualan dan kemudian harus menyerahkan hasilnya kepada oknum tersebut. Parahnya lagi anak jalanan kerap kali menjadi korban human trafficking oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Komisioner Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susianah Affandy, menjelaskan alasan pelaku menjadikan anak jalanan sebagai perdagangan manusia karena anak jalanan mudah dipengaruhi. Menurutnya, faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak jalanan menjadi korban. Anak jalanan kerapkali diiming-imingi mendapatkan uang dengan mudah dalam kasus ini anak jalanan juga rentan mengalami kekerasan seksual.
Uniknya fenomena anak jalanan lebih banyak terdapat pada kota-kota besar yang dikatakan lebih maju secara sistem dan pembangunan. Kerapkali pembangunan hanya difokuskan pada pembangunan secara fisik sehingga pemerintah kurang menyadari bahwa pembangunan manusia juga tidak kalah penting. Kualitas sumber daya manusia haruslah dibangun secara merata dan menyeluruh. Terkadang pemberian bantuan kepada mereka yang hidup di jalanan lebih menekankan pada bagaimana mereka dapat makan di keesokan hari namun kurang memperhatikan bagaimana mereka mandiri dan berdaya bukan hanya untuk hari ini melainkan untuk kehidupan mereka seterusnya.
Stigma negatif masyarakat terhadap anak jalanan semakin mempersulit untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dalam masyarakat anak jalanan kerap kali dicap sebagai penyimpang. Mereka tidak terlalu dihargai, dipandang tidak jelas, nakal, dan tidak memiliki masa depan yang jelas. Tanpa disadari kenakalan yang terjadi pada anak jalanan merupakan dukungan dari lingkungan sekitar mereka. Lingkungan jalanan yang keras dan liar membuat mereka tumbuh menjadi generasi yang juga dapat dikatakan keras dan menyimpang. Sejalan dengan teori belajar sosial bahwa seseorang akan berperilaku sebagaimana lingkungan mereka berada. Dengan adanya stigma negative tersebut justru membuat posisi anak jalanan semakin termarginalkan. Keterpaksaan dan tekanan kehidupan membuat seorang anak yang pada usianya sedang mengembangkan potensinya justru berbanding terbalik dan hidup pada lingkungan yang tidak sehat dan rawan.
Dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak, orang tua memang menjadi yang utama dalam perlindungan mereka. Namun, dalam fenomena ini orang tua justru membiarkan dan mendorong anak untuk ikut berkontribusi secara ekonomi. Hal tersebut tidak serta merta membuat masyarakat harus menilai bahwa mereka adalah orang tua yang gagal karena telah melanggar hak anak. Kurangnya pengetahuan orang tua para anak jalanan terhadap hak anak menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pelanggaran hak anak ini terus terjadi. Fenomena ini memerlukan perhatian kita semua baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah sebagai penentu segala kebijakan harus mengevaluasi program-program yang telah ada. Pembangunan tidak hanya berfokus pada pusat kota dan segala infrastrukturnya melainkan pembangunan kualitas manusia juga merupakan aspek penting bagi kemajuan suatu negara.
REFERENSI
Astri, Herlina. (2014). Kehidupan Anak Jalanan di Indonesia: Faktor Penyebab, Tatanan Hidup dan  Kerentanan Berperilaku Menyimpang. Jurnal Aspirasi, 5 (2), 145-155.
KPAI. (2022). Catatan Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021 dan Proyeksi Pengawasan Penyelenggaraan   Perlindungan Anak Tahun 2022. Diakses pada 17 Desember 2022, dari  https://www.kpai.go.id/publikasi/catatan-pelanggaran-hak-anak-tahun-2021-dan-proyeksi  pengawasan-penyelenggaraan-perlindungan-anak-tahun-2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H