Cerita FiksiÂ
Seorang gadis kecil mengamati pengumuman di majalah dinding sekolahnya.  Pengumuman agar  semua siswa putri  memakai kebaya dan sanggul dan siswa putra memakai pakaian adat jawa tengah untuk pria, dalam rangka acara Kartinian.Â
Lalu ia pulang sekolah berjalan kaki  sendirian ke rumahnya yang ada di ujung jalan, tidak jauh namun melewati kebun jati  yang daun serta pohonnya menjuntai di atas jalan,  yang saat  musim ulat jati bergelantungan,  dia harus lewat  memutar jalan lain karena takut pada  ulat jati yang memenuhi atas  kepala orang dewasa saat  musim ulat muncul.Â
Gadis kecil itu akhirnya bicara  pada ibunya mengenai acara Kartinian  di sekolahnya.  Seminggu lagi,  ibunya mengukur baju kebaya yang dipakai tiap  kali pergi menghadiri undangan pengantin. Â
Gadis itu menatap  ibunya tanpa  semangat, ketika tahu baju kartiniannya nanti adalah baju ibunya yang disekeng atau dikecilkan dengan jahitan tangan  ibunya. Sejak ayah dan ibunya bercerai, ibunya lah yang menghidupi dirinya dan satu adiknya.Â
Ia membayangkan teman lainnya menjahitkan baju kebaya baru atau membeli jadi, Â serta kain jaritnya dijahit jadi.Â
Ibunya sibuk membuat wiron atau lipatan di ujung kain dengan mengoleskan air kanji terlebih dahulu,  kata beliau supaya kaku dan  bagus,  kalau berjalan bisa seperti kipas  kain wiron nya.Â
Tanggal duapuluh satu April ,  gadis kecil  itu dibangunkan ibunya jam tiga dini hari. Ibunya harus pergi berdagang dini hari dan hanya memiliki waktu  sedikit untuk mendandaninya membuat sanggul konde, memasangkan kain jarit dan sebagainya  Sanggul konde saat itu jarang ada, yang langsung  jadi dan dipasang, ibunya memasangkan sanggul dari rambut  cemoro,  istilah rambut kuncir palsu,  diikatkan pada rambut  lalu dibentuk.Â
Ibunya meminyaki gadis kecil itu dengan minyak orang aring hingga licin, sanggul sudah jadi seperti  sanggul  yang tiap  hari dipakai  ibunya.  Gadis kecil menatap  wajahnya dan entah kenapa  dia merasa dirinya cantik  dan hidungnya sangat lurus.Â
Ia tidur lagi dengan jarit terpakai, lalu bangun setelah agak pagi dan berusaha agar sanggulnya tidak berantakan. Ibunya sudah berangkat ke pasar bersama rombongan  pedagang  yang berjualan di pasar  hari  pasaran.Â
Setelah merapikan semua yang dipakaian oleh ibunya,  kain jarit ibunya  dengan memakau setagen,  yaitu kain panjang yang lebarnya sekitar limabelas senti dan panjangnya mungkin tiga meter, dia lupa, sesudah itu ditutup kain kemben yang bagus supaya setagennya tidak terlihat. Gadis itu pergi ke tempat sepupunya yang rumahnya ada di sebelah rumah.Â
Sepupunya yang kaya, rambutnya tengah disasak dan didandani oleh kakak-kakaknya, ada sanggul jadi yang praktis yang mungkin tidak dibeli atau diketahui oleh ibu gadis kecil  itu. Dirias begitu cantik  dan glamor.  Lalu mereka menatapnya  sesaat pada gadis kecil  itu. Bertanya kenapa ibunya meminyaki rambut gadis kecil itu sehingga kakak sepupunya tidak bisa memperbaiki rambutnya agar bersasak.Â
Rasa marah mendadak muncul, ia kecewa  pada ibunya yang mendandaninya secara  sembrono. Rasa percaya dirinya lenyap. Ia berusaha menghilangkan minyak dari  rambutnya dengan saputangan, namun hanya berhasil sedikit. Â
Ia tetap mendongak saat di foto  dan dirinya lumayan manis dengan  hidung bangir.  Mereka diantar  motor  satu - satu,  menuju sekolah yang sama, sepupunya  kakak kelas.Â
Acara kartinian berlangsung dan gadis kecil itu pulang  naik becak langganan keluarga. Ibunya sudah  menjemputnya dan berkata:"Ayo kita beli nasi soto kesukaanmu" Gadis kecil itu kembali bersemangat,  tidak menyadari mata ibunyamenerawang dan merasa bersalah tidak bisa mendandani anaknya seperti  teman  lainnya.
Rekaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H