Mohon tunggu...
yulianto liestiono
yulianto liestiono Mohon Tunggu... Freelancer - perupa

Lahir di Magelang. Pendidikan terakhir ISI (Institut Seni Indonesia )Jogjakarta. Tinggal di Depok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karya I Nyoman, Cokot dan Cokotisme

10 November 2020   22:16 Diperbarui: 10 November 2020   23:38 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tulisan ini adalah sebuah respon tentang kegelisahan atau kerisauan Chryshnanda Dwilaksana yang ringkasnya sering disebut CDL.

CDL adalah pelukis sekaligus juga seorang Brigjen Polisi yang saat ini menjabat sebagai DIRKAMSEL di KORLANTAS.

Latar belakang CDL (sebagai pelukis dan polisi) perlu saya tegaskan agar dapat memberikan gambaran tentang siapa dan mengapa CDL sering memikirkan dan berpendapat terhadap kondisi kesenian, terhadap senimannya sebagai pelaku kesenian maupun tentang sitem atau "politik" kesenian.

CDL sebagai pelukis, posisi ini membuat  ia sering bersinggungan erat dengan dunia seni rupa baik dengan perorangan maupun dengan berbagai organisasi atau komunitas seni. Sebagai DIRKAMSEL KORLANTAS, CDL mempunyai "kesempatan" atau tugas untuk meninjau berbagai tempat di seluruh Indonesia maupun manca negara.

Apa yang dilihatnya ketika ia berkeliling Nusantara tentu saja menjadi sangat  subyektif. Dalam tugasnya sebagai DIRKAMSEL tentu ia mengamati dan memikirkan banyak hal yang berkaitan dengan persoalan lalu lintas. Namun sebagai peribadi yang pelukis ia juga otomatis dapat melihat kondisi dunia seni rupa diberbagai tempat di Indonesia. 

Sebagai polisi CDL tentu otomatis selalu mengamati, menganalisa dan memikirkan berbagai solusi untuk mengatasi masalah yang dilihatnya. CDL juga dapat segera menggerakan jajarannya untuk merealisasikan pikiran dan berbagai strateginya.

Namun demikian ketika persoalan yang dilihatnya adalah persoalan kesenian atau budaya, yang terjadi disuatu daerah yang ia kunjungi. Maka CDL tak dapat segesit mengatasi persoalan lalu lintas. Karena sebagai seniman CDL tidaklah memiliki perangkat untuk ia gerakan untuk mengatasinya. Biasanya ia lalu menulis dan mengirimkannya ke berbagai media. CDL juga sering membicarakan berbagai persoalan kebudayan melalui berbagai medsos maupun di diskusi daring di berbagai komunitas. 

Pada kesempatan kesempatan khusus CDL juga sering mengajak diskusi secara personal dengan sahabat sahabatnya. Tentu dengan cara seperti ini hasilnya tidaklah dapat segera di lihat. Namun paling tidak CDL telah mengemukakan berbagai kegelisahannya, CDL telah berbagi rasa agar dapat menjadi catatan sahabat sahabatnya untuk ikut peduli terhadap kondisi kebudayaan khususnya kesenian.

Kedekatan CDL dengan berbagai perupa termasuk dengan keluarga / kerabat COKOT  tentu membuat CDL dapat merasakan berbagai masalah yang ada diseputar COKOT sebagai seniman patung, maupun karya karyanya yang berhasil menjadi ikon yang sangat kuat untuk menandai Bali.

Saya jadi ingat sekitar tahun 1970 an ketika saya pertama kali datang ke Bali. Saya melihat karya Cokot atau gaya Cokot menjadi tanda hampir disetiap sudut tempat wisata, baik hotel besar, rumah makan, bandara dan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun