Mohon tunggu...
yulianto liestiono
yulianto liestiono Mohon Tunggu... Freelancer - perupa

Lahir di Magelang. Pendidikan terakhir ISI (Institut Seni Indonesia )Jogjakarta. Tinggal di Depok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sopo Ngiro Lukisan Jendral Chrishnanda Dwilaksana

13 Desember 2019   23:17 Diperbarui: 13 Desember 2019   23:30 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


SOPO NGIRO.

Ini ungkapan Jawa yang artinya dalam bahasa Indonesia: "siapa bisa menyangka". Dan ungkapan inilah yang dijadikan judul pameran tunggal lukisan karya Chryshnanda Dwilaksana di Galeri Cemara 6, Menteng, Jakarta Pusat, di bulan Agustus 2019 ini. 

Sekilas, tampaknya judul tersebut tidak "njamani", tidak "zaman now", atau "kurang milenial". Padahal pameran tersebut berlangsung di galeri terpandang yang banyak mengorbitkan perupa muda, sering menggelar kreativitas terbaru dari perupa senior yang tak henti mencari, sehingga memberi kontribusi positif bagi perkembangan seni rupa Indonesia.

Maklum, galeri ini milik seorang intelektual penyandang gelar profesor yang menjadi mahaguru di perguruan tinggi negeri terkemuka, dan seorang doktor penulis banyak buku filsafat, serta "penyair perempuan" terdepan dalam lembar kesusastraan Indonesia, sekaligus pejuang "kesetaraan" gender masyhur di negeri ini. Dan hingga kini masih memimpin kantor paten Biro Oktroi Rooseno. Toeti Heraty.

Pelukisnya pun tak kalah ganjilnya. Dia seorang intelektual, doktor dengan esai-esai khas yang telah dikumpulkan dalam buku-buku tebal nan tajam dalam menyoroti soal-soal sosial. Kecuali itu, sedari muda hingga hari-hari ini terus kreatif melukis, meski sehari-harinya sibuk pula menjadi bhayangkara negara sebagai jenderal.

Chryshnanda adalah seniman yang tumbuh dengan kedalaman budaya Jawa, tapi terdidik baik dalam pemikiran-pemikiran Barat modern dan global-kontemporer (yang tak lagi mendikotomikan antara yang tradisi dan yang modern). Itu semua diserapnya dan di-"manunggal'-kan dalam dirinya demi menjalani masalah-maslah nyata di hadapannya.

Meski judulnya sangat berbau tradisi, lukisan-lukisan yang digelarnya tidak lantas menunjukkan gejala-gejala visual yang lahiriah, yang wadag, misalnya dengan menonjolkan wayang kulit atau motif batik. Berbagai gaya modern pun tidak lagi dipinjamnya, dan menjadi wadag atau badan, melainkan telah disatukannya menjadi "roh". Antara yang realis, dekoratif, dan abstrak bisa diaduknya --dia memanfaatkannya di mana dia memerlukannya sebagai suatu ekspresi diri. Seperti liar tapi terkomposisi dengan pertimbangan-pertimbangan visual. 

Di dunia lalu-lintas, Chryshnanda seperti berzigzag tapi tidak membahayakan dan malah mengundang takjub. Kehidupannya sebagai polisi yang berdisiplin dan keliaran dunia kreatif estetik jadi menyatu dalam kanvas-kanvasnya. 

Kontras tapi membentuk keseimbangan yang baru. Lihatlah bagaimana Chryshnanda banyak menggunakan warna cerah yang kontras seperti merah disandingkan hijau. Dia biarkan bagaimana lelehan cat yang tampak liar tapi ternyata terkendali. Dengan ringan dia berbicara tentang berbagai renungan yang dalam nan mengalir lancar. Tidak direka-reka karena telah dihayatinya dengan baik. Dia tidak menghalus-haluskan. Tidak mengestetik-estetikkan. Tidak menggurui. Tapi "sopo ngiro" mengajak kita kembali berendah hati. Bahwa ada yang jauh di atas kita, Yang Mahakuasa, yang membuat kita hanya bisa melontarkan kata: "sopo ngiro yo".

 Sopo ngiro, siapa sangka, kalau Ahok ternyata dikalahkan  Anis dalam pemilihan Gubernur DKI. Siapa sangka Wakil Presiden Indonesia terpilih ternyata seorang kiai sepuh Ma'ruf Amin. Kita masyarakat Indonesia yang religius pasti meyakini bahwa semua itu adalah seizin Allah --khususnya kejadian yang tak terduga. Jadi "Sopo Ngiro" akan terus ada selama Tuhan dan Manusia ada. Ini adalah pilihan pemikiran yang tidak hanya pantas untuk perenungan hari ini namun juga di masa-masa yang akan datang.

Pemikiran Chryshnanda Dwilaksana dan karyanya yang dipamerkan ini tentu saja tidak serta-merta menjadi mudah diterima masyarakat seni rupa. Khususnya jika dihadapkan dengan kenyataan dunia seni rupa saat ini. Dunia seni rupa yang telah membuat kotak atau sekat dengan label kontemporer. 

Seni Rupa Kontemporer yang telah ditempatkan pada ruang mewah nan steril dengan segala perlindungan, dari banyak pihak. Sehingga, perupa yang tidak mendapat label kontemporer akan berada di luar sebagai "gelandangan seni". Menurut saya, label kontemporer yang berlaku di Indonesia saat ini adalah label yang dipaksakan untuk menggiring seniman agar masuk ke suatu tempat yang nantinya  akan diproses dan dijadikan bagian dari kepentingan pemilik ruang. 

Label kontemporer di Indonesia hanya menjadi "alat" untuk mengangkat ataupun mencampakkan karya dan seniman yang tidak diinginkan. Label kontemporer tak ubahnya seperti label "cebong atau kampret" yang difungsikan untuk menghancurkan  siapa yang dianggap lawan. Batasannya "dipelintir" seperti pasal karet --yang digunakan hanya demi keuntungan diri.

Seni rupa kontemporer yang lebih sering diterjemahkan serampangan menjadi bersifat teks dan ilustratif, sering dianggap mengutamakan "message" namun kehilangan "content", ibarat sebuah pidato atau iklan provokatif. Seni rupa kontemporer seolah digunakan untuk menyekat agar seni rupa hanya punya satu ideologi, menjadi "satu dimensi" (one dimensional), sehingga yang tidak dilabeli kontemporer, harus tersingkir, mesti terpinggir. 

Padahal seni rupa pada dasarnya bukanlah teks yang verbal namun merupakan bahasa rupa yang multi-interprestasi. Bahkan tak jarang seni rupa tak dapat dibaca atau diterjemahkan dalam bahasa tulis namun hanya dapat dirasakan dengan mata hati, batin, atau intuisi. Seni rupa mampu membuat seseorang mencintainya, meski dia tak bisa menjelaskan hal itu dengan lengkap, genap, dan tuntas tas.

Situasi seni rupa seperti ini bisa jadi akan masih berlanjut cukup lama, terutama jika mereka yang ada didalam dunia seni rupa tak mengubahnya. Efek sampingnya? Lihatlah keberadaan galeri seni rupa di Jakarta pada sepuluh atau lima belas tahun belakangan ini. Ada komplotan galeri seni rupa di mal besar di pusat Jakarta yang menambahi namanya dengan kata "kontemporer" kini sudah rata dengan lantai, pemiliknya hengkang dan ganti profesi, sementara lahannya diganti dengan pengusaha warung kopi, makanan dan sayur serta buah-buahan.

Pameran Chryshnanda Dwilaksana di Galeri Cemara 6 kali ini baik untuk memulai langkah baru membenahi seni rupa Indonesia agar lebih ramah terhadap segala segi bentuk ekspresi, utamanya yang berakar pada kearifan lokal. Hanya dengan ke-lokal-anlah kita akan mampu mengglobal. Sebab dengan hanya meng-global, kita akan kembali menjadi peniru. Mari kita baca kembali kekayaan budaya kita nan beragam untuk kita angkat ke tingkat pergaulan global. 

Kita yang di bulan Agustus 2019, telah 74 tahun merdeka sebagai bangsa, Bangsa Indonesia. Kata seorang ahli hukum, kata rekonsiliasi itu artinya kembali ke konstitusi, barangkali kata rekonsiliasi juga dapat digunakan untuk dunia seni rupa, yang harus kembali ke kodratnya yang selalu mesti kreatif, bebas demi menembus batas. Jangan lagi ada "kampret dan kecebong".

Depok 26 Juli 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun