Beberapa waktu lalu saya menerima kiriman image beberapa lukisan. Â Karya yang dikirimkan secara kasat mata dapat di golongkan dalam ragam dekoratif. Ragam yang mengutamakan susunan bentuk, baik bentuk abstrak atau bentuk bentuk dasar maupun bentuk gubahan dari citra berbagai bentuk yang ada dialam. Seperti binatang, pohon dan lainnya.Â
Bentuk-bentuk tersebut umumnya diwarnai dengan kesan datar ( tidak bervolume) ) dan kemudian diisi atau di imbuhi dengan berbagai isian, bisa garis, titik dan lainnya. Proses mengisi atau menghias seperti ini (mendekorasi) sebagian atau seluruh bagian kanvas ini barangkali yang menyebabkan karya dengan ragam seperti ini di sebut sebagai dekoratif.
Karya dekoratif  adalah gaya lukisan yang paling awal yang dilkukan oleh manusia. Lihat saja lukisan lukisan purba baik di goa goa maupun diberbagai peninggalan sejarah, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia. Pada lukisan lukisan purba, melukis dengan gaya dekoratif barangkali adalah akibat dari keadaan saat itu, dimana teknologi, ilmu pengetahuan serta kondisi masyarakatnya masih belum mendukung untuk menciptakan lukisan realis, surealis dan lainnya. Jadi melukis dengan gaya dekoratif bagi masyarakat purba bukanlah "pilihan".Â
Beda dengan kondisi saat ini dimana teknologi, ilmu pengetahuan serta kondisi masyarakat telah jauh lebih maju dan beragam. Melukis dengan gaya dekoratif  adalah sebuah pilihan yang tentu disebabkan oleh berbagai hal yang mempengaruhi pikiran dan perasaan pelukisnya.
Pada poin inilah saya mengagumi karya Zerlin. Ditengah "Tsunami" budaya yang menerpa hampir seluruh dataran  kebudayaan. Tidak hanya bagi negara berkembang, saya yakin dunia maju sekalipun juga mengalami limpahan budaya asing dari berbagai belahan bumi.Â
Teknologi Informasi adalah penyebab utama yang mengangkat berbagai macam budaya, kebiasaan dan informasi, kemudian melemparkannya keberbagai penjuru dunia, tanpa kecuali. Apa yang dilemparkan melalui internet tersebut berisi berbagai hal baik yang berguna maupun sampah, semuanya dicampur aduk. Dan seringkali manusia tak lagi mudah membedakannya.
Karya Zerlin mengingatkan saya pada karya karya motif batik yang telah menjadi kebanggaan Indonesia. Proses membatik yang sering dikaitkan dengan berbagai ritual rohani serta dimaknai sebagai simbol atau tanda tanda yang sakral.Â
Hingga karya karya batik yang baik tidak hanya menjadi karya seni rupa namun telah menjadi karya budaya. Karya yang tidak hanya tergantung didinding untuk dibaca namun karya yang telah menjadi bagian  dari  proses kehidupan manusia. Karya batik  seperti ini tidak lagi terpisah tapi menyatu dengan kehidupan.
Karya Zerlin tentu belum mencapai tahap seperti itu.
Namun karya Zerlin adalah tanda bahwa sebagai anak ia mempunyai pilihan yang mungkin saja berdasar pada karya leluhurnya. Karya yang memiliki akar kuat dari dalam kehidupannya, akan memiliki kemampuan hidup lebih baik dibandingkan dengan karya yang berdasar atau berpegang pada rumus atau pakem cangkokan dari luar kehidupannya.Â