Matahari baru saja menghilang dari pandangan mata. Sisa sinar merahnya masih menyelimuti Jakarta. Jarum jam terus berdetak diikuti satu persatu lampu pertokoan, perkantoran serta lampu taman. Mereka seperti berlomba untuk menggoda, mengingatkan aku akan kunang kunang di pematang sawah di kaki gunung Tidar.
Jalan Sabang malam itu seperti juga malam malam yang lainnya, sisi jalan raya penuh kendaraan tak sisakan ruang. Parkir di jalan Sabang seperti menunggu undian berhadiah, peminatnya hanya dapat berharap cemas. Untung kalau bertepatan dengan adanya mobil yang sedang keluar hingga segera dapat menggantikan tempatnya. Kalau tidak barangkali harus memarkir mobil di jalan lain lalu jalan kaki kembali ke Jl Sabang. Padatnya Jakarta seringkali menyebalkan tapi kadang juga menjadi penumbuh rindu untuk dapat menyatu dengan kerumunan itu.
Warung sate Madura sepertinya telah lama menandai kekhasan Jalan Sabang. Kepulan asap dan aroma bakaran lemak ayam dapat ditemukan hampir disepanjang jalan Sabang. Warung Sate Ayam Bang Heri menjadi faforit ketika berkunjung di Jalan Sabang. Entah sejak kapan orang Madura menyebut dirinya Bang. Namun pada kenyataanya nama Warung Bang Heri tak pernah dipersoalkan oleh orang Betawi maupun oleh orang Madura.
Bangku plastik merah buatan Surabaya memenuhi sekeliling meja yang juga dilapisi karpet plastik merah, warna merah menjadi ciri warung Bang Heri. Aku duduk di sudut meja setelah memesan menu. Dihadapanku telah juga ada yang menunggu makanannya, seorang tengah baya. Tampilannya bersih dan rapi. Kami bersapa basa basi untuk menghancurkan kebekuan. Tak terlalu lama pesanannya telah datang. Es Jeruk, satu porsi Sate Ayam serta sepiring lontong potong. Segera ia mengambil sendok untuk memindahkan sebagian lontong potong ke piring sate. Tak semua lontong ia ambil, sepertinya ia tak terlalu lapar atau sedang diet untuk menjaga kebugaran, hingga ia hanya mengambil sebagian lontong potong jatahnya.
Tak sampai lima menit, pesanan sateku sampai dimeja dengan ditambah bawang mentah dan cabe rawit kesukaanku. Teh manis hangat serta sepiring lontong potong datang berikutnya. Aku segera mencampur lontong dengan sambal kacang yang gurih. Kami makan bersama dengan tanpa banyak kata. Disamping tidak ada bahan pembicaraan, di Jakarta memang tak banyak orang dapat bertutur sapa dengan orang yang tak dikenal. Manusia Jakarta barangkali memang harus lebih mengutamakan keamanan dari pada basa basi.
Sebentar kemudian orang diseberang meja selesai makan dan berdiri untuk membayar makanannya. “Mari duluan” katanya, dua patah kata ini telah cukup menunjukan kesopanannya. “ Silahkan” balasku seperlunya.
Aku lalu melanjutkan makanku pelan pelan. Rasa lapar sepertinya tak juga menghilang, padahal lontong potong dipiringku tinggal tiga potong. Aku segera ingin memesan lontong potong, paling tidak setengah porsi. Dihadapanku ada juga lontong potong yang ditinggalkan oleh orang diseberang meja tadi, yang belum dibereskan oleh Bang Heri.
Secara logika lontong potong dihadapanku masih bersih. Aku melihat dengan mataku sendiri. Orang tadi mengambilnya dengan sendok yang belum dipakai, dan dia tak juga menyentuhnya lagi. Lontong potong dihadapanku menggoda pikiran dan perasaanku. Pikiranku mengatakan lontong potong dihadapanku itu masih bersih dan layak makan, tentu aku boleh mengambilnya karena tak lagi diambil oleh yang punya. Dan alasan lain yang lebih menggoda adalah aku tidak menyia nyiakan rejeki dan membuang percuma makanan yang ada.
Namun demikian perasaanku mengatakan, jangan ambil karena lontong potong dihadapan itu adalah “sisa”, selain itu juga bukan milikmu karena ia yang membelinya. Kalaupun lontong potong tadi bersih dan sudah tidak akan diambil oleh yang punya, itu adalah makanan sisa, dan bukan hakmu.
Pikiran dan perasaan dalam diri berkelahi dan saling beragumentasi. Sejenak aku terdiam tak dapat ambil putusan. Namun segera aku memanggil Bang Heri untuk minta dipotongkan lontong setengah porsi. Selesailah perkelahian antara pikiran dan perasaanku.
Aku lalu menyadari bahwa sebenarnya aku termasuk manusia yang tidak logis. Lebih banyak aku melakukan dan memutuskan kehidupanku berdasarkan naluri dan suara hati. Bagaimana dengan kamu.
Yulianto Liestiono Depok, 11Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H