Ternyata, mereka mengaku sistem pendidikan di pondok pesantren yang menganut disiplin tinggi dan keteraturan sangat berperan. Mereka menjadi lebih cepat beradaptasi di China.
"Kalau dibandingkan sama pesantren, lebih disiplin di pesantren. Di sini, ke kelas terus buat tugas selesai, kalau di pesantren dari bangun tidur sampai tidur lagi itu semuanya diatur," ujar Alwi.
Rizal menambahkan bila sang dosen sampai terheran-heran ketika bertanya tentang aktivitasnya selama di China. Ia mengaku, sebagai santri, aktivitasnya terjadwal secara teratur yakni dari bangun sampai tidur.
"Waktu sidang skripsi, laoshi (dosen) saya tanya tentang aktivitas saya. Saya bilang, selalu buat kegiatan dari jam 3 pagi sampai jam 12 malam. Dosen saya bilang, gila anak ini. Tidur cuma 3 jam. Luar biasa anak pesantren," imbuhnya.
Pengalaman Berpuasa di China
Rizal dan Ni'mah telah menjalani ibadah Ramadhan tahun keempatnya di China, sedangkan Alwi memasuki tahun ketiga.
Bulan Puasa yang bertepatan dengan musim panas di China, memang menjadi tantangan tersendiri. Apalagi, puasa di Negeri Tirai Bambu berlangsung sekitar 15 jam.
Awalnya, teman dan dosen asal China sempat heran dengan aktivitas mereka di Bulan Ramadhan karena seorang Muslim tidak makan dan minum dari pagi sampai malam selama 1 bulan penuh.
Selama Ramadhan, mereka memilih untuk masak bersama, meskipun di kampus tersedia kantin halal. Secara aturan, aktivitas memasak di dalam asrama tidak diperkenankan, namun mereka bisa meyakinkan pihak sekolah.
"Sebetulnya, masak di kamar dilarang tapi kita dekati Ayinya (bibi-bibi penjaga asrama), kita bilang ke Ayi kalau kita masuk Bulan Ramadhan dan nggak makan pagi sampai malam, terus bisa nggak masak di kamar, Ayi bilang silahkan masak," sebutnya.