Mohon tunggu...
Yulianita Abu Bakar
Yulianita Abu Bakar Mohon Tunggu... Guru - Guru

There are things more important than happiness (Imam Syamil's son)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta di Lembah Hunza

19 Maret 2024   04:09 Diperbarui: 19 Maret 2024   09:28 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku butuh menabung bertahun-tahun, juga harus menyiapkan mental untuk memberi hadiah "Pulang ke Sost". Cintaku padanya yang dalam bukan tidak be-alasan. Shahira wanita yang sangat sederhana. Tidak pernah minta ini-itu dariku. Bila aku mengajak nya ke pesta dan bertemu dengan teman-temanku. Sepulang dari pesta dia tidak pernah bercerita hal yang memjadi  beban untukku, semisal minta di belikan perhiasan, atau tas, sepatu yang membuat dia terlihat seperti perempuan berkelas. Dia mengingatkan ku pada ibu . Sifatnya mirip ibuku. Itulah yang membuat aku bahagia. Dan dari perasaan bahagia membuat aku ingin memberikan apa saja untuknya.

Setelah banyak bersantai. Aku mulai ikut bekerja dengan paman dan sepupu-sepupu laki-laki Shahira. Aku bosan di rumah. Meski ini bulan ramadan. Aku tetap ingin melakukan sesuatu. Pagi-pagi kami akan berangkat ke sebuah perkebunan untuk bekerja. Sore kami kembali dengan membawa upah. Upahnya sangat sedikit. Aku mematung saat menerima beberapa rupee dari tuan tanah pemilik kebun. Paman menarik tanganku untuk menyadarkan ku. Dengan sangat kaku aku mengucapkan syukran. Lalu melangkah pulang dengan menggenggam rupee.

Sesampai di rumah. Shahira yang sudah menunggu di depan pintu. Menyambut dan menanyakan bagaimana kabar ku. Sama seperti dia menunggu aku pulang kerja di Irland. Aku mengambil tangannya dan meletakkan semua uang dari upah hari pertama ku. Aku sama sekali tidak tersenyum, hanya lelah yang aku rasa. Shahira berjalan mengikuti, sesampai di kamar, ia memeluk dan mengucapkan terima kasih karena  aku sudah mau berlelah bekerja. Tidak ada sepatah kata yang mampu aku ucapkan. Dalam pelukan Shahira, Air mataku berlinang.

Setelah mandi, memakai baju terbaik, Aku, paman dan para sepupu berangkat ke Masjid.  Di sini para laki-laki berbuka berjamaah. Baru setelah Salat Tarawih kami kembali ke rumah.
Di rumah kami akan duduk mengobrol di ruang tengah sambil menikmati secangkir chai. Lalu setelahnya baru lah kami berangkat tidur.

Lembah ini sangat indah. Masyarakat yang ramah. Tidak ada terlihat wajah cemas akan hari esok. Wajah polos, berseri karena ikhlas akan hidup yang di jalani. Di sini Aku lupa bagaimana gemerlap nya Irland. Tapi, Tapi upah yang aku terima dari bekerja di kebun sangat tidk masuk akal bagiku. Aku merasa seperti seorang budak. 

Aku suka keluarga paman. Aku suka orang-orang di sini. Aku cinta Shahira. Tapi bagaimana kalau Shahira meminta kami untuk tinggal di sini dan tidak kembali lagi ke Irland. Apa aku harus bekerja di kebun dengan gaji beberapa rupee sampai tua? Apa mungkin aku tinggal di tempat ini yang tertinggal jauh dari Batam, kata kelahiranku, atau Irland negara ke 2 bagiku?

Aku tidak  bisa tidur, aku overthinking.  Shahira yang berbaring di samping ku. Menatap sambil  tersenyum. Seakan- akan dia bisa membaca isi pikiran ku. "Tidurlah sayang, bila kamu belum bisa menerima kenyataan bahwa upah di sini sangat kecil. Kamu bisa tinggal di rumah tanpa melakukan apa-apa. Paman tidak akan marah. Jangan khawatir, Tidurlah".

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun