"Kebiasaan kecil yang di kerjakan dari waktu ke waktu, sendiri dan tidak pernah meminta orang lain untuk mengikutinya. Tidak juga menginginkan pujian dari siapa pun. Mungkin itulah kebaikan yang murni. Menjadi contoh bagi keturunannya"
Ibu dan 2 bibi ku di besarkan oleh sepupu nenek-ku. Aku tidak pernah mengenal nenekku, beliau meninggal saat umur ibuku masih 6 tahun. Yang aku kenal sebagai ibu dari mama ku, beliau, sepupu dari nenekku.
Aku tidak mengingat banyak kenangan, karena beliau meninggal saat aku berumur 10 tahun.Yang aku ingat rumah panggung yang selalu rapi dan bersih. Bunga yang berwarna warni. Pohon mangga, jambu, pinang, melinjo, nangka dan pisang.
Di samping rumah, nenek juga punya alat tradisional penumbuk padi yang dalam bahasa kami di sebut 'Jingkie'.
Aku adalah salah satu cucu nenek yang paling sering menemani beliau. Aku senang duduk membaca di dekat beliau. Aku senang memperhatikan apa pun yang beliau kerjakan. Aku memang tidak membantu. Hanya di situ untuk menemani. Entah karena aku memang penasaran dengan apa yang beliau lakukan. Atau karena aku menunggu sebuah cerita dari masa lalu beliau.
Nenek punya kebiasaan yang berbeda dengan kebanyakan orang tua lain di kampung ku.
Saat beliau menyapu daun-daun di halaman, sampah plastik atau yang lainnya.Beliau memisahkan antara ranting pepohonan, daun-daun dan sampah plastik. Bila ada sampah dapur seperti tomat busuk, cabe busuk, kulit nanas dan yang lainnya, itu juga beliau pilah.
Setelah daun-daun beliau tumpuk. Beliau akan menggali lubang untuk mengubur daun-daun itu. Serta menandai lubang dengan batu. Sampah plastik beliau bakar. Sementara ranting pohon akan beliau pindahkan ke bawah rumah panggung. Lebih tepatnya ranting-ranting itu di simpan dan tidak dibiarkan terkena hujan.
Cabai, tomat yang busuk, beliau masukkan ke dalam baskom yang berisi air. Lalu biji-biji cabai dan tomat beliau taruh di dalam "Je'eu" untuk di jemur. Setelah kering beliau menaruhnya di kertas koran, melipat nya dengan rapi, lalu menyimpannya.
Beliau juga punya satu tempat, di belakang rumah, yang dijadikan tempat untuk membakar semua sampah bersamaan. Ranting, daun-daun, sampah plastik, dibakar bersamaan. Setelahnya, debu sampah tadi beliau masukkan ke karung untuk di simpan. Aku sangat mengingat sambil tersenyum beliau memberitahu tanpa aku bertanya "Ini pupuk Yuli, kita tidak perlu membeli pupuk di pasar".
Setelah beberapa minggu, daun yang di tanam dalam lubang sudah membusuk dan menjadi tanah. Tanah yang warnanya hitam. Hasil pembusukan daun itu beliau campur lagi dengan tanah. Selanjutnya beliau gunakan untuk menabur benih cabai dan tomat. Nenek saya tidak menanam tanaman dalam polibet. Biasanya beliau akan memilih tempat di sekitar rumah, kadang di samping, kadang di belakang rumah. Mencangkul tanah membentuk segi empat atau persegi panjang. Tanah itu di cangkul di permukaan saja untuk di campur dengan pupuk.
Selanjutnya beliau akan menancapkan beberapa batang kecil untuk dijadikan tempat mengikat jaring sebagai pagar tanah tempat benih cabai dan tomat di semai. Lalu menyiramkan air dengan semprotan tradisional yaitu berupa gayung bekas yang sudah diberi beberapa lubang. "ka timoh nyak beah, beu jeut keu raseuki" Beliau berbicara pada benih-benih itu.
Di lain waktu aku melihat nenekku akan mengambil pupuk yang di simpan di bawah rumah panggung, Pupuk kering itu, yang lebih mirip debu dari pada pupuk, beliau tabur ke dalam pot- pot bunga. Atau pohon mangga yang masih kecil. Dan sebagian pupuk yang di simpan dalam karung itu diberikan kepada saudara-saudara lain yang memerlukan pupuk.