Mohon tunggu...
Yulianita Abu Bakar
Yulianita Abu Bakar Mohon Tunggu... Guru - Guru

There are things more important than happiness (Imam Syamil's son)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kita Tidak Perlu Membeli Pupuk

3 Maret 2024   06:25 Diperbarui: 3 Maret 2024   06:31 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kebiasaan kecil yang di kerjakan dari waktu ke waktu, sendiri dan tidak pernah meminta orang lain untuk mengikutinya. Tidak juga menginginkan pujian dari siapa pun. Mungkin itulah kebaikan yang murni. Menjadi contoh bagi keturunannya"

Ibu dan 2 bibi ku di besarkan oleh sepupu nenek-ku. Aku tidak pernah mengenal nenekku, beliau meninggal saat umur ibuku masih 6 tahun. Yang aku kenal sebagai ibu dari mama ku, beliau, sepupu dari nenekku.

Aku tidak mengingat banyak kenangan, karena beliau meninggal saat aku berumur 10 tahun.Yang aku ingat rumah panggung yang selalu rapi dan bersih. Bunga yang berwarna warni. Pohon mangga, jambu, pinang, melinjo, nangka dan pisang.
Di samping rumah, nenek juga punya alat tradisional penumbuk padi yang dalam bahasa kami di sebut 'Jingkie'.

Aku adalah salah satu cucu nenek yang paling sering menemani beliau. Aku senang duduk membaca di dekat beliau. Aku senang memperhatikan apa pun yang beliau kerjakan. Aku memang tidak membantu. Hanya di situ untuk menemani. Entah karena aku memang penasaran dengan apa yang beliau lakukan. Atau karena aku menunggu sebuah cerita dari masa lalu beliau.

Nenek punya kebiasaan yang berbeda dengan kebanyakan orang tua lain di kampung ku.
Saat beliau menyapu daun-daun di halaman, sampah plastik atau yang lainnya.Beliau memisahkan antara ranting pepohonan, daun-daun dan sampah plastik. Bila ada sampah dapur seperti tomat busuk, cabe busuk, kulit nanas dan yang lainnya, itu juga beliau pilah.

Setelah daun-daun beliau tumpuk. Beliau akan menggali lubang untuk mengubur daun-daun itu. Serta menandai lubang dengan batu. Sampah plastik beliau bakar. Sementara ranting pohon akan beliau pindahkan ke bawah rumah panggung. Lebih tepatnya ranting-ranting itu di simpan dan tidak dibiarkan terkena hujan.

Cabai, tomat yang busuk, beliau masukkan ke dalam baskom yang berisi air. Lalu biji-biji cabai dan tomat beliau taruh di dalam "Je'eu" untuk di jemur. Setelah kering beliau menaruhnya di kertas koran, melipat nya dengan rapi, lalu menyimpannya.

Beliau juga punya satu tempat, di belakang rumah, yang dijadikan tempat untuk membakar semua sampah bersamaan. Ranting, daun-daun, sampah plastik, dibakar bersamaan. Setelahnya, debu sampah tadi beliau masukkan ke karung untuk di simpan. Aku sangat mengingat sambil tersenyum beliau memberitahu tanpa aku bertanya "Ini pupuk Yuli, kita tidak perlu membeli pupuk di pasar".

Setelah beberapa minggu, daun yang di tanam dalam lubang sudah membusuk dan menjadi tanah. Tanah yang warnanya hitam. Hasil pembusukan daun itu beliau campur lagi dengan tanah. Selanjutnya beliau gunakan untuk menabur benih cabai dan tomat. Nenek saya tidak menanam tanaman dalam polibet. Biasanya beliau akan memilih tempat di sekitar rumah, kadang di samping, kadang di belakang rumah. Mencangkul tanah membentuk segi empat atau persegi panjang. Tanah itu di cangkul di permukaan saja untuk di campur dengan pupuk.

Selanjutnya beliau akan menancapkan beberapa batang kecil untuk dijadikan tempat mengikat jaring sebagai pagar tanah tempat benih cabai dan tomat di semai. Lalu menyiramkan air dengan semprotan tradisional yaitu berupa gayung bekas yang sudah diberi beberapa lubang. "ka timoh nyak beah, beu jeut keu raseuki" Beliau berbicara pada benih-benih itu.

Di lain waktu aku melihat nenekku akan mengambil pupuk yang di simpan di bawah rumah panggung, Pupuk kering itu, yang lebih mirip debu dari pada pupuk, beliau tabur ke dalam pot- pot bunga. Atau pohon mangga yang masih kecil. Dan sebagian pupuk yang di simpan dalam karung itu diberikan kepada saudara-saudara lain yang memerlukan pupuk.

Setelah nenek meninggal, kebiasaan mengelola sampah rumah menjadi pupuk di lakukan oleh anak nenek. kami memanggil beliau dengan panggilan mami (Mamak Amir). Mami memiliki karakter yang berbeda dengan nenek, pembawaan nya tidak se-tenang nenek. Tapi beliau sama rajin nya dan telaten dalam mengolah sampah menjadi pupuk.

Mami sangat suka berkebun. Setiap pagi dan sore, beliau menghabiskan waktu berjam-jam dengan menanam tanaman baru, mengurus tanaman yang telah tumbuh, Atau mengolah sampah. Dari memilah sampah menurut jenis nya, sampai mengolahnya menjadi pupuk.

Meski tanah dan air kami tidak bagus, mengandung zat kapur yang tinggi. Di mana membuat banyak orang malas menanam ini dan itu. Sebaliknya di halaman belakang rumah mami tumbuh bermacam bumbu dapur. Kunyit, jahe, lengkuas, serai, pandan, pohon salam, lada, pohon cengkih, pohon lemon, jeruk nipis, dan beberapa tanaman herbal juga. Semua tanaman itu tumbuh subur. Sebagian di pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Dan sebagian di jual.

Dengan uang yang dihasilkan dari tanaman-tanaman kebutuhan dapur ini, mami yang hanya ibu rumah tangga. Bisa punya penghasilan dari usahanya sendiri. Meski ke dua anaknya membiayai hidup beliau.

Setelah rumah panggung di bongkar dan di ganti dengan rumah megah paman Amir, mami menanam ulang semua tanaman yang sudah di tebang. Halaman samping yang tersisa, beliau gunakan untuk menanam kembali tanaman beliau. Di halaman depan yang sudah menjadi teras. Hanya mungkin di jadikan tempat untuk meletakkan bunga dan tanaman hias di dalam pot-pot yang cantik.

Waktu mengubah kehidupan semua orang, tak terkecuali mami. Mami yang dahulu nya memiliki halaman yang sangat luas untuk berkebun. Kini hanya mungkin menanam tanaman nya di samping rumah paman Amir. Aku tidak menyebutnya sebagai tanah mami karena tanah itu sudah di wariskan kepada paman amir, meski mami masih hidup.

Setiap hari, entah pagi atau sore hari. Aku melihat mami membuat pupuk dari sampah. Memasukkan pupuk itu ke karung. Lalu di lain hari pupuk itu akan beliau gunakan untuk di campur dengan tanah.

Semenjak mami tinggal dengan paman Amir di rumah mewahnya. Beliau tidak lagi menghasilkan uang dari tanaman nya. Aku melihat tanaman-tanaman itu lebih sering dibagi-bagi ke sanak saudara sebagai sedekah. Siapa pun boleh mengambil tomat, cabai, daun sirih, daun pandan dan yang lainnya. Dengan syarat izin ke beliau. 

Memasuki umur 70-an mami pindah ke rumah anak perempuan nya. Beliau sudah sering bolak-balik masuk rumah sakit. Bibi ku, Cut Ratna, membuat keputusan untuk mengurus mami. Rumah bibi Ratna tidak punya halaman seperti rumah paman Amir.

Bila mami dalam keadaan sehat, beliau tetap akan berada di teras samping atau teras depan untuk menanam atau mengurus bunga-bunga di rumah bibi.
Membuat pupuk dari sampah, agar bunga-bunga tumbuh subur.

Setelah mami ku meninggal karena penyakit diabetes. Tidak ada lagi generasi di keluarga ku yang meneruskan kebiasaan nenek dan mami dalam mengolah sampah menjadi pupuk. Sekarang sampah-sampah akan diletakkan di depan rumah dan akan diangkut petugas kebersihan seminggu 3 kali.

Aku mengenang nenek, mami, kebun dan halaman rumah panggung tua. Halaman yang di penuhi tanaman subur. Itu adalah hari-hari yang indah. Dan pelajaran yang tidak kami indahkan , para cucu-cucu nenek.

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun