Kisah ku sekarang ini agak jauh berbeda dengan tulisan ku yang pernah kubuat di kompasiana. Kali ini aku ingin berbagi buat semua pembaca mengenai pengalamanku sebagai ibu yang sangat istimewa. Menjadi ibu adalah hal yang sangat istimewa bagi setiap wanita, tetapi menjadi ibu yang sangat istimewa ....?? tidak semua orang bisa mengalaminya. Aku mulai kisah ku dengan kelahiran putera pertama ku Muhammad Fariz Rizqianyah (14 th). Saat itu aku berusia 30 th. Sebenarnya aku sudah mengikuti test PNS ku sejak menamatkan kuliah ku di S1 th 1993, setelah berkali-kali test aku sudah mulai merasa bosan dan putus asa, tetapi  sangat bersyukur aku memiliki suami yang ternyata penyabar dan mau memberi suport untuk tetap mengikuti keinginanan ku menjadi PNS. Sampai  aku mengandung anak pertamaku, aku baru diterima menjadi PNS  di tahun 1999, dan menerima gaji pertamaku dibulan Juni 1999 tepat saat aku melahirkan putera pertamaku, karena itu aku menambahkan nama Rizqiansyah dibelakang namanya. Fariz anak yang tampan dan sangat menyenangkan, tapi aku tidak pernah menyangka sama sekali dibalik kebahagianku, aku harus mengalami perjuangan yang sangat berat. Saat Fariz menginjak usia 5 bulan aku  melihat gejala yang sangat aneh, Fariz suka menangis sampai berjam-jam lamanya, susah buang air besar, dan yang paling menyedihkan ku Fariz tidak lincah dan belum bisa menggerakkan badannya seperti miring ke kanan atau kekiri tanpa bantuan kita, Fariz hanya bisa terlentang dan menangis. Apalagi untuk posisi tengkurap dan duduk Fariz belum mampu melakukannya. Berdasarkan keanehan ini, aku merasa harus mencari informasi sebanyak-banyak nya kemampuan apa yang seharusnya dimiliki oleh anak seusia Fariz, maklum karena Fariz anak pertama dan ini adalah pengalaman pertamaku sebagai ibu. Fariz kubawa ke tempat seorang ibu yang berusia lanjut yang biasa mengurut bayi dan anak-anak yang bermasalah atas anjuran kakak iparku.Dugaanku tepat, Fariz memang bermasalah dan ibu tadi tidak bersedia memenuhi keinginan ku untuk mengurut bayi ku, Beliau menganjurkan aku untuk langsung ke dokter syaraf karena Beliau yakin Fariz mempunyai masalah pada syaraf di otaknya. Dengan hati sedih aku pulang dan menceritakan pengalamanku hari itu kepada suamiku. Suami ku tetap bersabar dan menguatkanku, kami sepakat untuk membawa Fariz ke dokter spesialis anak. Dan aku terkejut ketika dokter menyatakan kalau Fariz memang bermasalah, Fariz dianjurkan menjalani beberapa pemeriksaan mulai dari pemeriksaan manual, rontgen dan scan pada otaknya di rumah sakit. Saat itu aku mendapat panggilan untuk mengikuti Pra Jabatan dan harus menginap di Mess selama satu bulan. Terpaksa aku tidak dapat mendampingi pemeriksaan Fariz lebih lanjut. Aku hanya mengikuti perkembangan pemeriksaannya dari balik tembok mess. Hatiku sangat sedih mendengar semua penuturan keluargaku tentang Fariz, Fariz menderita kelainan syaraf di otak besar. CP istilah  medisnya Cereblal Palsy, dan mengalami penyempitan syaraf  (athorofi). Aku mulai menyalahkan diriku, mengapa hal ini bisa kualami, mengapa aku tidak mendapat kesempatan menjadi ibu seperti orang lain, yang memiliki banyak anak dan semuanya sehat tanpa masalah... Berminggu-minggu aku menangis. Semua keluarga ku tak henti-hentinya memberikan suport kepada ku. Dokter telah mengklaim Fariz tidak akan sembuh dan normal seperti anak lainnya, dia mengalami keterlambatan perkembangan ( mental) tapi tidak untuk fisik. Setelah selesai menjalani Prajabnas, aku kembali bertugas, aku di tempatkan di daerah yang jauh dari kota, Perjalananku dari rumah menghabiskan waktu 3 jam. Aku harus bangun lebih awal dan pulang sangat terlambat ke rumah karena masalah transportasi. Usulan teman-temanku untuk mondok saja di desa  tempatku bertugas kutolak mentah-mentah. Yang ada di fikiran ku adalah bagaimana aku bisa terus mendampingi Fariz yang harus melakukan berbagai terapi di rumah sakit, kadang Fariz ditemani ayahku dan adikku, karena suamiku yang seorang guru SMA itu juga bertugas di luar kota. Aku terus berjuang hari demi hari untuk membuat perubahan dalam hidup Fariz, melakukan semua upaya, dari mulai fisioterapi, hydroterapi, dan semua terapi. Juga tak lupa kucoba berbagai upaya alternatif ke mana saja di seputar kota tempat tinggal ku, aku tidak pernah berputus asa, Aku juga melakukan fisioterapi sendiri dengan belajar kilat dari terapist yang kudatangi, bagaimana merangsang Fariz untuk melakukan gerakan-gerakan tengkurap, duduk berdiri dan sebagainya,hal ini kulakukan setiap hari setelah usai tugas ku mengajar, karena aku selalu tiba di rumah sebelum maghrib, maka aku melakukan fisioterapi kepada Fariz di waktu malam hari. Setiap hari Rabu dan Sabtu ketika waktu kosong mengajar, aku membawa Fariz ke YPAC. Waktu berlalu semua usaha dan perjuangan ku terus kulakukan. tak perduli berapa besar biaya yang harus ku keluarkan, juga tenaga dan waktu ku seakan tak pernah habis untuk Fariz. Ketika usia Fariz 10 bl,  aku dinyatakan hamil lagi , aku memaksa untuk menggugurkan kandunganku, tapi untung dokter yang memeriksa  kandungan ku menyadarkan ku. Mengapa tidak mau menerima seorang adik jika adik ini ternyata seorang anak yang sehat. Aku tersadar, aku hanya terfokus dengan Fariz. Ini tidak boleh terjadi, karena biar bagaimanapun semua yang terjadi adalah di luar kuasa manusia. Semua adalah kehendak dari Sang Pencipta. Saat test hamil anak keduaku inilah aku baru tahu penyebab dari penyakit Fariz. Ternyata aku mengidap virus Rubella dan ini bisa jadi penyebab semua ini. Aku tertegun tak berdaya, akan kah aku punya anak seperti Fariz lagi? Takut dan sedih menghantui pikiran ku. Putus asa dan ingin menggugurkan kandungan ku lagi, tapi lagi-lagi dokter itu menguatkan ku. Dia hanya bertanya tentang keimanan ku, mengapa aku tidak mencoba berdoa agar bayi kedua ku sehat walafiat. Kembali aku menjadi kuat dan meneruskan apa yang telah diberikan kepadaku, tawakkal, itu saja yang ada di benak ku. Akhirnya anak kedua ku lahir setelah Fariz berusia 18 bulan. Kuberi nama Ahmad Farhan Ramadhan. karena  kebetulan Farhan lahir pada saat menjelang idul Fitri. di bulan Ramadhan. Farhan artinya bisa membuat bahagia dan gembira. Dia anak yang baik, sehat dan cerdas. Alhamdulillah. Hari terus berlalu sekarang aku memiliki 2 anak yang menjadi perhatianku. Terpaksa aku membagi perhatian tapi tetap dengan tidak mengurangi perhatian untuk anak pertamaku. Sementara Fariz mengalami kemajuan walaupun tidak telalu pesat, akhirnya Fariz bisa tengkurap pada usia 2 tahun dan duduk sendiri pada usia 6 tahun. Aku sangat bahagia melihat kemajuan ini. Walaupun kemajuan sangat kecil dibandingkan dengan  waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan, tetapi ada kebahagiaan tersendiri melihat perubahan kecil ini. Setiap perubahan kecil yang dialami FAriz adalah moment yang sangat berharga bagi diri  ku sebagai ibu. Sekarang Fariz menginjak usia 14 th. Ganteng dan murah senyum, walaupun dia tidak bisa berkata apa-apa tapi semua perubahan nya telah membuatku bahagia. Fariz belum bisa berbicara dan berjalan, tapi dia sudah bisa merespons apa yang ada disekitarnya dengan senyumannya. Tetap lah tersenyum Fariz ku....bagiku senyummu penghilang duka ku... ketakberdayaan mu adalah kekuatan ku...sebesar apapun penderitaan ini...Engkau tetap Matahariku...anakku..Muhammad Fariz Rizqiansyah.....Insya Allah semua akan ada hikmahnya, semua akan berakhir dengan baik. Kuserahkan semuanya kepada Mu...Allah Yang Maha Pencipta....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H