Iran adalah negara Islam yang sejarah dan sistem politiknya banyak diperdebatkan. Iran adalah sebuah negara syiah yang paling penting.Â
Konsep Wilayatul faqih menaungi aspek agama dan politik Iran, sistem ketatanegaraannya mampu bersinergi apik yang dipimpin oleh Ayyatullah Khumaeni.Â
Trias politica digunakan untuk mewakili Islam Iran di Republik. Namun, ketika dua teori politik digabungkan dalam satu bentuk, konsep Republik Islam Iran, nama entitas politik nasional di Iran, mendapat kritik. Hal ini terutama berasal dari konsep wilayatul faqih, yang secara diametris bertentangan dengan konsep republik, yang melayani seluruh pemilih dan yang dipilih.
Ketika membahas politik Iran, itu terkait erat dengan kepentingan Syiah. Syiah Imamah dinyatakan sebagai agama resmi di Iran dalam konstitusi Desember 1979 dan amandemennya tahun 1989 (Ghadimi & Abbasalipour, 2011). Akibatnya, sistem politik, ekonomi, dan sosial Iran harus dibangun di atas nilai-nilai teologis Syiah.
 Akibatnya, untuk menjaga ideologi Syiah tetap hidup dalam masyarakat Iran, dibangun sebuah sistem yang secara sistematis memberikan kekuasaan kepada Ayatollah sebagai otoritas tertinggi dalam politik dan agama. Ia memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan Ayatollah bertugas melantik presiden terpilih dalam pemilu. Dia juga dapat mencopot presiden jika dia melanggar konstitusi Iran.
Kemudian, Ayatollah sebagai presiden iran memiliki wewenang untuk menunjuk komandan militer, direktur jaringan radio dan televisi nasional, pemimpin agama, imam di masjid, dan anggota dewan keamanan nasional yang bertanggung jawab atas urusan pertahanan dan kebijakan luar negeri Iran. Ia juga dapat menyatakan perang dan damai (Akbarzadeh, 2005). Ini menunjukkan bahwa Ayatollah berada dalam posisi yang lebih kuat daripada presiden Iran.
Presiden bertugas menegakkan konstitusi dan menjalankan fungsi eksekutif lainnya. Dia menunjuk menteri, mengkoordinasikan keputusan pemerintah, dan mengembangkan kebijakan.
Dalam sistem politik, kaum Syi'ah membuat sistem konsep pemerintahannya sendiri untuk memastikan bahwa kepentingan Syi'ah selalu diprioritaskan. Mereka memperkenalkan konsep wilayatul faqih, yang mencoba memadukan konsep demokrasi dengan landasan agama. Implementasinya di Iran dikenal sebagai negara Republik, yang muncul dari Islam Iran setelah revolusi 1979. Setelah itu, ideologi Iran menyebar luas ke negara lain, termasuk Indonesia.
Dari revolusi Iran 1979, pengaruh kelompok Syiah meluas ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Saat itu, gagasan revolusi melawan pemerintahan otoriter Indonesia diterima secara luas di kampus. Ide-ide Ali Syari'ati cukup dominan karena banyak ilmuwan terkesan dengan pendekatannya dalam membangun pemerintahan yang demokratis. Termasuk ide
Mullah Sadra Muthahhari, yang egaliter dalam mengejar keadilan sosial dan moralitas dalam kehidupan budaya, ekonomi, dan politik masyarakat.
Beberapa konflik muncul sebagai akibat dari isu Syiah, seperti insiden Sampang. Bahkan data lapangan menunjukkan potensi konflik yang tinggi antara kelompok Sunni dan Syiah. Hal ini disebabkan perbedaan politik dan agama, serta peningkatan jumlah pemeluk Syiah di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H