KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga selalu menyisakan hal buruk, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi anak-anak dalam keluarga tersebut.
Setiap anak tentu akan sangat bahagia dan bertumbuh dengan jiwa yang sehat jika kedua orang tuanya juga rukun dan bahagia. Jika terjadi pertengkaran antara orang tua maka anakpun menjadi tidak bahagia. Apalagi jika terjadi KDRT dalam keluarga, anak menjadi trauma tak jarang kondisi emosi atau pun jiwanya juga terganggu.Saya dapat mengatakan hal demikian karena saya mengalaminya.Â
Saya ingat sewaktu masih kecil hingga SMA saya seringkali berkata-kata dengan suara hampir menangis secara tiba-tiba walaupun saya sedang  tidak bersedih. Selain itu, saya juga sering bermimpi buruk sambil menangis. Hal itu terbawa hingga saya dewasa.
Dulu, saya tidak bisa melihat kayu, linggis, parang, alat pompa sepeda tergelak begitu saja di rumah. Saya pasti akan sebisa mungkin meletakkannya di tempat yang tidak terlihat atau susah untuk dijangkau. Saya selalu takut jika barang-barang tersebut digunakan ayah saya untuk memukul ibu saya.
Saya menduga itu akibat dari trauma masa kecil saya yang tumbuh dalam ketakutan karena ayah saya yang sering mengamuk. Â Â
Pertanyaan pada judul di atas adalah pertanyaan yang sungguh-sungguh ingin saya tanyakan kepada pada pembaca Kompasiana. Siapa tahu di antara para kompasioner memiliki pengalaman mendampingi korban KDRT.
Ibu saya adalah korban KDRT. Sebagian kisahnya sudah saya ceritakan di artikel yang berjudul Ayah, Sayangilah Ibuku.
Ibu saya adalah orang yang paling sabar dan kuat yang pernah saya temui. Sejak waktu masih kecil hingga hari ini ibu selalu menerima perlakuan tidak baik dari ayah saya. Seperti yang pernah saya ceritakan, ketika saya masih kecil, mungkin masih TK, ayah saya pernah memukul ibu saya dengan pelepah pohon kelapa hingga kayu itu patah. Saya hanya dapat menangis dan menjerit-jerit ketika melihatnya. Â
Saat ini memang ayah saya tidak lagi memukul Ibu, tetapi ayah masih sering melakukan kekerasan verbal. Segala sesuatu yang tidak baik selalu dialamatkan kepada ibu saya, semua dianggapnya kesalahan ibu saya.
Anak-anak yang tidak mau pulang ke rumah semua dianggap sebagai didikan Ibu. Ayah saya juga menuduh ibu saya dengan berbagai macam hal yang tidak masuk akal. Tuduhan-tuduhan yang bernada kecemburuan.
Saya sebagai anak tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini, selain berdoa. Terkadang saya sangat iri dengan kehidupan keluarga orang lain yang rukun, atau pun yang dulu ada masalah tetapi pada satu titik ada perubahan sehingga keluarga mereka bisa menjadi rukun.