Lebih lanjut, setelah perang berakhir, mereka menjadi gamang terhadap kondisinya. Banyak yang tidak pulang ke kampung halamannya karena malu terhadap lingkungan sekitar [9] Hal ini disebabkan oleh pengaruh agama, khususnya Islam yang menganjurkan menjaga aurat dan kesucian. Banyak dari mereka juga ditelantarkan ditempat mereka dijadikan " wanita penghibur" khusunya di camp-camp medan perang. Maka tidak mengherankan setelah perang, mereka bungkam mengenai masalah " budak seks" ini. Justru setelah kim hak sun menyuarakan pengalamannya mengenai kekerasan tentara Jepang terhadap para "Chongshindae ( Jugun ianfu dalam istilah Korea") mereka juga mulai menyeruakan pengalamannya satu per satu mengenai " perbudakan seks"oleh tentara Jepang di Indonesia.
Catatan Kaki:
[1] https://www.merdeka.com/dunia/jepang-bersedia-minta-maaf-dan-beri-ganti-rugi-jugun-ianfu-korsel.html
[3] AliceYun Chai. Asian-Pacific Feminist Coalition: The Chongshindae/Jugunianfu(Comfort Women) Movement. Jurnal Korean Studies Vol.17, pp.67-91: University ofHawai’I Press. Hlm, 67.
[4] PyongGap Min. Korean “ Comfort Woman”: The Intersection of Colonial Power, Gender,and Class. Journal Gender and Society. Vol. 17, No. 6.2003, pp 938-957: SagePublication, Inc. Hlm, 940
[7] Ibid,Hlm 63.
[8] Sebagai sebuah analisisi dan refleksi dari buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang membahas mengenai rumah pelesir Babah Ah Tjong pada akhir abad ke-19.
[9]