( Mardiyem dan Suharti eks Jugun Ianfu Indonesia. Source: geocities.sw)
Beberapa tahun yang lalu, pergolakan protes wanita di Korea Selatan untuk menuntut keadilan terhadap pemeritahan Jepang sangat santer terdengar. Mereka menuntut keadilan terkait perbudakan seks dan kekejaman tentara Jepang pada masa pendudukan Jepang. Namun, pada tahun 2015 kedua negara tersebut sepakat menyelesaikan masalah tersebut dengan Jepang membayar miliyar yen pada Korea Selatan dan menutup semua pembahasan mengenai perbudakan seks tersebut[1] walaupun masih banyak aktivis yang melayangkan protes karena ganti rugi yang kurang setimpal maka pada awal tahun 2017 lalu, mereka membuat patung " Jugun Ianfu" didepan kedubes Jepang di Korea Selatan yang menyebabkan Jepang memprotes dengan cara menarik dubesnya di Korea Selatan. Budak seks tersebut secara umum di sebut dengan istilah “ Jugun Ianfu” atau eufemismenya adalah “wanita penghibur”.
Perbudakan seks zaman penjajahan Jepang ini memiliki dampak-dampak kuat hingga saat ini, yang salah satunya adalah dampak sosial. Diperkirakan 80.000 hingga 200.000 perempuan pada masa penjajahan dijadikan "budak seks" oleh tentara Jepang.[2] Perempuan Indonesia termasuk didalamnnya.
Eksploitasi perempuan sebagai budak prostitusi tentara Jepang tidak bisa dilepaskan dari dinamika historis Restorasi Meiji. Pada periode tersebut, petani atau penduduk miskin Jepang dieksploitasi sebagai budak prostitusi – biasa disebut karayuki san- di wilayah jajahan Jepang yang pada saat itu adalah Cina[3]. Saat itu, banyak perempuan-perempuan Jepang menjadi penghibur yang mempunyai tuan majikannya. Saat itu, bukan hanya sebatas di wilayah Jepang dan Cina saja yang menjadi wilayah prostitusi,tetapi hingga Asia Tenggara. Hal ini juga terdapat dalam roman terkenal Bumi Manusia yang dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer dimana terdapat peran wanita lugu bernama Maiko yang dipelihara oleh Babah Ah Tjong sebagai wanita penghibur di Hindia Belanda saat itu. Tentu hal ini merefleksikan keadaan Jepang saat itu sebagai surga para perempuan penghibur. Maka hal ini sudah menjadi kebiasaan untuk memenuhi psikologis dan kebutuhan seksual di Jepang.
Dengan terbukanya isolasi Jepang pada pengaruh luar, maka muncul kaum baru dalam tataran dinamika sosialnya. Maka hadir pengusaha dan jutawan di Jepang dan memperluaskan pengarunya melalui ekspansi. Mulailah pengusaha dan tentara Jepang membutuhkan wanita penghibur karena jauhnya dengan negeri Induk. Untuk memperluas pengarunya juga, tentu Jepang melakukan politik ekspansinya, sehingga saat tentara Jepang yang saat itu menduduki Nanjing Cina, banyak perkosaan dan pembantain terjadi terhadap perempuan disana atau yang lebih dikenal oleh kita sebagai " Nanjing Massacre". Implikasinya bahwa untuk mencegah kebrutalan yang pernah terjadi, setelah peristiwa tersebut pemerintah Jepang secara resmi membuka " rumah bordil" pertama di Cina[4] untuk memuaskan para tentara Jepang secara transaksional.
Jepang mulai memasuki Indonesia pada tahun 1942. Peristiwa Nanjing memberi dampak terhadap peran" wanita penghibur" di Indonesia. Dalam beberapa hal, walaupun kebijakan jepang untuk menggunakan wanita secara transaksional, masih banyak terjadi penculikan dan penipuan ( dengan iming iming bekerja menjadi pembantu ) yang disebabkan kurangnya perempuan atau ingin mencari perempuan baru. Sehingga tidak heran para orang tua yang memiliki gadis perempuan, dengan buru-buru menikahkannya, sekalipun dengan lelaki yang tidak dikenal [5] agar tidak menjadi " budak seks" tentara Jepang. Dalam beberapa hal, " wanita penghibur" ini bisa dijadikan dua segmentasi, dimana yang pertama adalah karena kebijakan Jepang sendiri dan yang kedua adalah ekploitasi oleh tentara Jepang itu sendiri. Dalam kasus pertama, bisa dikatakan para perempuan itu secara " resmi" sebagai " wanita penghibur", sehingga ada transaksional diantara agen dan tentara Jepang itu sendiri. Kawan saya pernah bercerita mengenai neneknya yang pernah menjadi " wanita penghibur". Beliau pada akhirnya, bisa dikatakan diperistri oleh tentara Jepang itu sendiri dan memilki seorang anak. Hingga kini, beliau sangat merindukan anaknya yang berada di Jepang itu dan telah putus kontak semenjak perang berakhir. Pada kasus kedua, biasanya seperti yang telah dipaparkan diatas, mereka diiming-imingi pekerjaan lalu di tipu menjadi " budak seks" Jepang dan lebih lanjut lagi terjadi penculikan terhadap perempuan berusia dari 12-30 tahun. [6]
Adapun dalam tataran " wanita penghibur" terdapat demarkasi kelas kelas berdasarkan negara. Tentu kelas yang dikatakan paling wahid adalah kelas orang-orang Eropa yang tertinggal saat hadirnya kontestasi Jepang dalam perang dunia II. Sebagai contoh di Indonesia terdapat beberapa perempuan keturunan indo dan totok yang dijadikan " wanita penghibur" pada masa pendudukan Jepang dan ditempatkan dibordil khusus[7] – kamar yang eksklusif-.Tentu wanita Eropa tersebut dalam beberapa hal melayani para petinggi militer, pejabat dan pengusaha Jepang.
Biasanya, para " wanita penghibur" tidak menampilkan kekhasan negaranya. Dalam percakapan dengan pelanggannya, mereka lebih banyak diam dan tidak berbicara. Hal ini untuk menyamarkan identitasnya. Jika kita mendengar beberapa pengakuan, mereka mengubah namanya dalam nama-nama yang terdapat di Jepang. Sebagai contoh bahwa di Indonesia terdapat Jugunianfu yang membuka pengakuan dan dijadikan buku dengan judul “Momoye: Mereka Memanggilku” yang ditulis oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura. Maka, " Wanita Penghibur" tersebut lebih dominan menggunakan kebudayaan Jepang sendiri dalam contoh menggunakan kimono.
Banyak dampak penting dalam diri " wanita penghibur" selain yang telah dipaparkan diatas, dimana terdapat dampak genealogis yang menularkan penyakit. Dalam sebuah kasus, jika mereka melayani banyak pelanggan maka barang tentu menyebabkan penyakit AIDS yang tidak diinginkan. Terkadang penyakit itu berdampak turun temurun jika mereka hamil dan memiliki anak. Biasanya, harapan hidup anak-anak dan dirinya sendiri sangatlah rendah. Jika mereka diketahui mengidap penyakit kelamin, biasanya mereka dibuang, dijual dengan harga murah atau di siksa oleh tuannya.[8]
Tentu sangat banyak sekali pengaruh yang terjadi dari segi eknomi dan sosial atau bahkan psikologis para " wanita penghibur" semisal mereka dihadapi dengan perekonomian yang sulit sehingga rela untuk menjadi " wanita penghibur" atau mereka menikah dengan seorang yang tidak dikenal sehingga bisa dikatakan mereka menerima kenyataan yang tidak tentu pengaruh sosial bagi dirinya, dan juga mereka menerima beberapa penyiksaan dan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Jepang. Dan, jika kita membicarakan usia bahwa banyak dari mereka juga yang masih dikategorikan sebagai " anak-anak" yang dijadikan " budak seks" yang dapat mempengaruhi pengaruh psikologis dan bilogisnya secara negatif.