Mohon tunggu...
Yuliane Monic
Yuliane Monic Mohon Tunggu... -

Pelajar Ganesha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Converse Conversation

22 Agustus 2013   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:58 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kiri memintaku memanggilnya “Ki”, sedangkan kanan lebih nyaman dipanggil dengan nama belakangnya “Nan”. Maka izinkan aku memperkenalkan kedua sahabat terbaik dan terkuatku yang setia menemaniku sejak menyandang status mahasiswa ini : KINAN.

Ki bisa kita sebut adik, karena pada akte kelahirannya memang tertera ia lahir 1 jam lebih lama dari sang kakak, Nan. Abang Seto, pembuat converse KW lah yang mempertemukan kami di suatu sore. Ia berdalih, karena terlalu banyak uangku mengaliri kantongnya dan mengoleksi hasil karyanya, maka ia sengaja membuatkan Kinan untukku, sepasang converse KW warna biru cerah dan berukuran 4 yang jika aku pakai akan menambah tinggiku beberapa cm ini. Ia juga yang mengakui bahwa sengaja merampungkan dulu Nan, baru beralih menjahit dan melakukan finishing Kidengan alat termutakhir yang ia punya : jarum raksasa dan benang sepatu yang ukurannya tidak lazim. Seingatku, tak ada nama spesial untuk benda sespesial itu. sayang sekali.

Kinan, kuakui ia cantik. namun aku sangsi karena tak ada pertanda pasti apakah ia pantas disebut cantik atau ganteng? Ah terserah lah, bukan hal yang penting untuk dipikirkan. Aku memang suka berbasa-basi. Tolong ampuni aku, kadang aku lupa topik apa yang akan aku bicarakan karena basa-basiku yang terlalu membabi buta.

Kuulangi lagi, sore itu Abang Seto menyerahkan sepasang Kinan dan akte kelahirannya padaku, tertera tanggal 30 Februari. Sama dengan hari lahirku. Bukan ketaksengajaan, kata abang memang ia berniat memberiku teman yang setia di hari aku tepat berusia 1700 tahun. Ia berpesan banyak, bahwa kedewasaan yang resmi disandang bocah ingusan yang telah menjadi 1700 adalah hal yang berat. Maka kehadiran Kinan menjadi suatu anugerah bagi kesendirian hidupku. Aku anak tunggal.

Abang Seto undur diri. Senyum kami terkembang, aku yang senang mendapat hadiah, abang yang telah memberikan hadiah terbaik untuk pelanggan terbaiknya. Bergegas kudekap erat Kinan. kulemparkan akte “mereka” sekenanya. Mungkin mendarat di atas tumpukan komik di depan TV kamarku. Aku terlalu jauh untuk peduli. Ki sangat banyak bicara, sebaliknya Nan lebih bijak dan bersuara berat. Sejauh aku kenal mereka, Ki suka membuat lelucon aneh yang tidak pernah bermutu. kadang terkesan terlalu garing. Tapi entah kenapa aku dan Nan masih menertawakannya. Ia adalah pencair suasana paling ampuh yang pernah ada di planet ini, Uranus. Terima kasih Tuhan, kau berikan aku sahabat terbaik yang pernah ada. Sebaliknya, Nan.. oh apa yang bisa aku deskripsikan tentang dia? bahkan ia lebih bijak dari perpetua (kepala suku, istilahnya di duniamu) yang pernah hidup disini. Ia adalah pelabuhan masalahku kedua, setelah Tuhan. ia nyata dan solutif. Bijak dan memberi arah. Aku tak pernah membayangkan bagaimana jika hidup tanpa ditemani kedua sahabatku itu. aku tidak mau menyebut mereka “sepatu” karena mereka lebih dari itu !

Jika disimplifikasi, mereka adalah adik-kakak kembar yang tercipta untuk menemaniku. Tapi semuanya berubah ketika negara api datang..

Hari itu aku kecelakaan. parah. hidupku berubah. Jangan berlagak bijak dengan menyuruhku bersabar bahwa semua akan baik-baik saja. Ini tidak baik-baik saja, sungguh. Kaki kananku harus diamputasi karena terjepit saat kecelakaan. Ceritanya, saat itu aku mengendarai piring terbang kesayangan. Kaki kananku masih menginjak pedal gas saat aku tetiba mengantuk sepesekian detik dan menabrak entah apa, tak bisa dan tak mau kuingat, hingga bagian kanan bagian kendaraanku hancur berkeping-keping. Ia mengalami krenasi. bagai sel hewan yang diletakkan di cairan hipotonis. Ia mengkerut. Keriput.

Percekcokan masih terlihat dibungkam baik oleh Ki maupun Nan di hari-hari pertama insiden itu. Namun seiring berjalannya waktu, tanda-tanda keharmonisan hubungan persahabatan kami tak bisa lagi dikatakan adem ayem kertaraharja. Nan mulai merasa dianaktirikan olehku. Tak perlu ditanya alasannya, tak perlu lagi dibahas kenapanya. Kenyataannya, aku sekarang hanya butuh Ki. Kakiku cuma satu. Aku terpuruk dengan kehidupan hanya dengan satu kaki ini. Oleh karena itu aku tak mau ambil pusing memikirkan Nan yang mukanya selalu terlihat masam akhir-akhir ini. Banyak jahitan dan sedikit lecet pada body nya karena kecelakaanku kemarin.

Aku : Nan masih enak tidak harus kehilangan anggota tubuh seperti aku. Tak perlu lah dia sok sensitif dan marah seperti ini. (menggerutu dalam hati)


Aku suka berbagi cerita dengan Ki di sepanjang jalan pulang menuju rumah. Kami tertawa bersama, kami bertukar cerita selalu. Menyenangkan. Meski ada sedikit yang hilang dari tiap perjalanan ini. Ah, mungkin seiring berjalannya waktu semua akan kembali normal, pikiranku menenangkan diri sendiri.

Tapi-aku-salah !!

Nan merasa ditinggalkan.Ia merasa terbuang. Ia merasa tak lagi dibutuhkan. Ia suka bersembunyi di kolong meja belajarku. Bertengger di sisi kanan tepat terinjak jika aku belajar (dan kakiku masih ada). Sayangnya, bahkan akupun tak kuasa menendangnya, aku hanya punya satu kaki. Nan terdholimi, ia berdoa semoga aku menjadi adil lagi seperti dahulu kala.

Nan : Aku berdoa semoga ia menjadi adil seperti dulu

Ki : Apa maksudmu? Jangan terlalu mendramatisir !

Nan : Entah, Tuhan pasti tahu yang terbaik..


Sialnya, doa itu didengar oleh Tuhan. Aku mengalami kecelakaan lagi, kakiku harus diamputasi lagi. Saat itu aku merasa Uranusku bertabrakan dengan Saturnus. Hancur. Menyebabkan pening. Tapi kenapa aku tidak mati?

Ki dan Nan resmi menjadi pengangguran di kamar. Aku tak lagi membutuhkan mereka. Aku bersahabat dengan kursi roda. Kemanapun. Kapanpun.Aaku marah terhadap diriku sendiri, terhadap nasibku. Aku menjadi orang yang sangat judes. Sangat sensitif. Merasa CACAT ! bukan lagi merasa,aku memang cacat. Level kemarahanku bertambah ketika Ki mengatakan bahwa Nan lah yang sengaja berdoa agar aku lebih adil (bagaimanapun caranya). Seketika aku juga marah dengan Tuhan. Ia jahat !

Mungkin hatiku sehitam karbon aktif yang berperan sebagai absorben. Sehitam malam tanpa bintang. Pekat. Sempit. Sesempit rumah semut yang tersisip di sambungan lantai rumah kayu. Aku marah, awet. Hingga lelah aku menjadi seorang pemarah, akhirnya kuperbaiki pola pikirku. Aku mendekatkan diri lagi pada-Nya, seolah-olah aku mendengar perintah-Nya untuk kembali bersahabat dengan Kinan. They fit me too well..

Malam itu mereka terlelap, belum denganku. Aku dekati mereka yang tampak keriput, mengguratkan umur yang tidak lagi muda. 500 tahun. Umur yang cukup tua bagi sepasang converse, tapi mereka setia. Keseimbanganku luntur. Kakiku tiada. Aku terjerembab menimpa mereka. Sontak mereka terjingkat dan merasa kedinginan karena tetes mata yang menggulir dari kelopak mataku ke tubuh mereka. Kudekap erat mereka, seperi 500 tahun yang lalu. Masih hangat dan biru..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun