Ki : Apa maksudmu? Jangan terlalu mendramatisir !
Nan : Entah, Tuhan pasti tahu yang terbaik..
Sialnya, doa itu didengar oleh Tuhan. Aku mengalami kecelakaan lagi, kakiku harus diamputasi lagi. Saat itu aku merasa Uranusku bertabrakan dengan Saturnus. Hancur. Menyebabkan pening. Tapi kenapa aku tidak mati?
Ki dan Nan resmi menjadi pengangguran di kamar. Aku tak lagi membutuhkan mereka. Aku bersahabat dengan kursi roda. Kemanapun. Kapanpun.Aaku marah terhadap diriku sendiri, terhadap nasibku. Aku menjadi orang yang sangat judes. Sangat sensitif. Merasa CACAT ! bukan lagi merasa,aku memang cacat. Level kemarahanku bertambah ketika Ki mengatakan bahwa Nan lah yang sengaja berdoa agar aku lebih adil (bagaimanapun caranya). Seketika aku juga marah dengan Tuhan. Ia jahat !
Mungkin hatiku sehitam karbon aktif yang berperan sebagai absorben. Sehitam malam tanpa bintang. Pekat. Sempit. Sesempit rumah semut yang tersisip di sambungan lantai rumah kayu. Aku marah, awet. Hingga lelah aku menjadi seorang pemarah, akhirnya kuperbaiki pola pikirku. Aku mendekatkan diri lagi pada-Nya, seolah-olah aku mendengar perintah-Nya untuk kembali bersahabat dengan Kinan. They fit me too well..
Malam itu mereka terlelap, belum denganku. Aku dekati mereka yang tampak keriput, mengguratkan umur yang tidak lagi muda. 500 tahun. Umur yang cukup tua bagi sepasang converse, tapi mereka setia. Keseimbanganku luntur. Kakiku tiada. Aku terjerembab menimpa mereka. Sontak mereka terjingkat dan merasa kedinginan karena tetes mata yang menggulir dari kelopak mataku ke tubuh mereka. Kudekap erat mereka, seperi 500 tahun yang lalu. Masih hangat dan biru..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H