Seiring berkembangnya zaman, makin berkembang juga teknologi yang di gunakan. Hal ini pasti juga akan berdampak pada gaya hidup umat manusia dalam segala aspek kehidupan. Tentu dalam hal yang positif dan juga hal yang negatif. Karena hal ini, masyarakat harus peka terhadap kondisi di lingkungan sekitarnya. Karena begitu banyak hal-hal yang baru yang masyaratpun belum tau hukumnya.
Salah satu contoh ekonomi yang mengalami modernisasi adalah riba. Banyak masyarakat yang belum tau apa itu riba. Atau bahkan mereka menyepelekannya. Padahal Rasulullah sangatlah melarang praktik ini. Seperti sebuah hadist, "Rasulullah saw. Melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya. (HR Abu Daud, dan Hadist yang sama juga diriwayatkan muslim dari jabir ibn 'Abdillah). (Nasrun Haroen, 2007:183) Dalam tulisan ini, penulis akan mengupas praktik modernisasi yang sebagian orang menyebutnya riba dan sebagiannya lagi diperbolehkan. Dengan tulisan ini, penulis berharap, pembaca mengetahui hukum daripadanya.
Praktik yang akan kita bahas adalah tentang tukar menukar uang menjelang lebaran. Di zaman modern ini, fenomena ini sangatlah banyak di temukan. Khususnya menjelang idhul fitrih. Akan ada banyak orang yang rela mengantri lama demi menukarkan uang mereka. Hal ini tejadi karena uang yang mereka tukar itu, untuk  di tukarkan lagi dengan pihak lain. Dengan catatan pihak lain tersebut menukarkannya dengan nilai lebih. Dengan kata lain menukarkan uang yang tidak sama nilainya. Bolehkah?
Seperti kutipan dari Al-Ghazali yang menyatakan bahwa bila jumlah uang yang diterima lebih banyak daripada jumlah uang yang diberikan, akan terjadi perubahan standart nilai. Perubahan ini terlarang. Uang tidak dihasilkan untuk menghasilkan uang. (Adiwarman Azwar Karim, 2004 :339).Dan juga pendapat aristoteles yang menentang pemungutan rente dengan alasan bahwa uang itu tidak dapat menghasilkan uang. (Syabirin Harahap, 1984:20). Dan melakukan hal ini termasuk pelanggaran. Namun, ada yang berpendapat bahwa praktik jual beli uang menjelang ramadhan ini bukan termasuk riba. Karena menurut mereka uang lebih itu sebagai jasa karena lama menunggu antrian.
Sebelum mengarah pada hukum akhirnya, penulis akan memberikan pandangan atau gambaran mengenai bagaimana praktik ini yang terjadi di masyarakat. Para penyedia ini, biasanya bergerombol di pinggir jalan dengan memperlihatkan segepok uang recehan kepada setiap pengendara yang lewat. Mulai dari pecahan Rp. 1000, Rp. 2000, Rp 5000, Rp. 10.000 dan Rp. 20.000.
Ada dua model dalam bertransaksi, cara yang pertama, misalkan ada yang ingin menukar uang 100 ribu dengan uang pecahan Rp. 1000, mereka akan mengambil 5000-10.000 sebagai jasa mereka. Cara yang kedua, mereka akan menukarnya dengan uang Rp. 100.000 juga kemudian mereka akan meminta upah sebagai jasanya. Nominalnya berkisar 5000-10.000 menggunakan prosentase 5-10% hingga terjadi negoisasi.
Menurut madzhab Syafi'i illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang tersebut di hargakan atau menjadi harga sesuatu. Begitu pula uang, walaupun bukan terbuat dari emas, uangpun juga dapat menjadi harga sesuatu. (Rachmat Syafe'i, 2001:267). Maka sudah pasti uang yang kita gunakan juga memiliki fungsi sebagaimana yang terdapat pada fungsi emas dan perak di masa lampau. Dan uang akan terkena hukum yang sam pula seperti hukum emas dan perak. Sehingga jika di perjualbelikan, atau tukar menukar dengan melebihkan salah satunya, maka akan terkena hukum haram riba fadhl.
Seperti pengertian riba fadhl, yaitu tukar menukar baang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda. Misalnya menukar 10 kg beras dengan 11 kg beras. Barang yang sejenis, misalnya beras dengan beras, uang dengan uang, dan emas dengan emas. (Sohari sahrani, Ru'fah Abdullah, 2011:59).
Dengan pandangan kutipan di atas, dapat di simpulkan bahwa tukar menukar uang receh baru menjelang ramadhan jika di transaksikan dengan akad jual beli hukumnya haram.dan juga bila di lakukan dengan melebihkan nilai salah satunya.
Sebagai solusi untuk menyiasati transaksi tukar menukar uang receh menjelang lebaran ini, sebagian kalangan berpendapat bahwa hal itu dapat di kategorikan sebagai ijarah "mal (sewa jasa dengan upah). Dengan memposisikan sebagai pihak penyedia jasa penukaran sebagai mu'jir Al-'amal, dan pihak yang menukarkan sebagai mutsa'jir Al-'amal. Dengan begitu di perbolehkan untuk mengambil keuntungan pada penukaran tersebut.
Sering kali orang mengharamkan hal tersebut dan menganggap bahwa transaksi ini adalah transaksi jual beli yang disiasati dengan akad ijarah, padahal tidak demikian. menurut penulis transaksi itu boleh dilakukan. Meskipun perbedaan antara akad jual beli dan ijarah itu sangat tipis, namun yang di kuatkan tetap akad yang disepakati dan yang di gunakan ketika transaksi. Bahkan sudah cukup jelas dengan iklan yang mereka tuliskan "Jasa Tukar Uang" sebagai bentuk penegasan bahwa yang mereka jual bukanlah uangnya, melainkan jasanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H