Media massa memiliki kode etik dan prinsip jurnalis dalam bekerja memproduksi suatu berita. Akan tetapi, meskipun secara teknis aturan tersebut telah dipenuhi, bukan berarti informasi yang disajikan dapat dipercaya begitu saja.
Dalam Filsafat Komunikasi, istilah "Media Framing" merujuk pada cara media mempresentasikan suatu isu atau berita kepada publik. Biasanya, media akan memilih sudut pandang atau narasi tertentu untuk menyajikan informasi kepada audience, kemudian hal tersebut dapat mempengaruhi cara audience memahami dan menanggapi isu tersebut.
Model Robert N. Entman mengungkapkan dalam analisisnya, framing memberikan penekanan pada dua demensi pokok seperti sebuah pisau bermata dua. Konsep framing dalam pandangan Entman secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkap the power of a communication text. Hal ini berkaitan dengan bagaimana suatu media menuliskan fakta.
Di era sekarang, pemberitaan di media sering kali menggunakan framing untuk mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat dalam menanggapi suatu isu. Hal ini dapat membuat masyarakat terjebak dalam "bobot" atau persepsi yang tidak berimbang terkait dengan suatu isu.
Framing bertujuan untuk membingkai sebuah informasi agar melahirkan citra, kesan, makna tertentu yang diciptakan media untuk menggiring opini dan mempengaruhi perspektif khalayak. Meskipun media framing tidak membagikan suatu berita bohong, tetapi ia mencoba membelokkan fakta dengan halus melalui penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau gambar, hingga meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan.
Sebagai contoh, seperti pada pemberitaan penetapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengenai aturan Wajib Pajak berpenghasilan 5 juta rupiah akan dikenakan pajak sebesar 5%. UU tersebut ditetapkan pada 1 Januari 2022 lalu. Pemberitaan ini sempat membuat kalangan netizen ramai dan berbondong-bondong mengomentari kinerja pemerintah.
Media menciptakan framing terhadap informasi tersebut, di mana pada berita-berita yang tersebar di media sosial, ditemukan penggunaan judul dan juga bahasa yang terkesan menggiring opini serta menimbulkan miskomunikasi antarmasyarakat sehingga terbentuk pemikiran dari masyarakat bahwa uang pajak yang dibayarkan ternyata untuk bonus pendapatan pegawai. Hal ini dibuktikan dari beberapa komentar di kolom postingan Instagram @ditjenpajakri mengenai Aturan Turunan UU HPP Klaster KUP.
“Nyesel buat NPWP, duitnya dihamburkan buat bonus pegawai pajak.” Komentar salah satu netizen.
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani pun turut mengklarifikasi hal tersebut di laman Instagram miliknya. Ia menjelaskan bahwa penambahan lapisan tarif Pajak Penghasilan (PPh) ini memberikan keringanan bagi Wajib Pajak. Gaji 5 juta dikurang pajak dibayar sebesar Rp 300.000 per tahun atau Rp 25.000 per bulan. Artinya, pajak yang dikenakan adalah 0,5% bukanlah 5%.
Dengan adanya tarif baru, masyarakat di kelompok menengah bawah beban pajaknya akan lebih rendah. Masyarakat yang berpenghasilan kecil dilindungi, sedangkan yang berpenghasilan tinggi dituntut kontribusi yang lebih tinggi.
Dari sini kita dapat melihat, media dapat membantu kita untuk memperoleh informasi, tetapi sekaligus mempengaruhi pembentukan opini masyarakat. Kita harus sadar, informasi tidak pernah netral karena selalu sudah diinterpretasi oleh pihak ketiga. Belum lagi, masyarakat yang memiliki kemampuan berliterasi masih minim sehingga mudah sekali terprovokasi dan tersulut emosi lewat pemberitaan yang telah di-framing tersebut.
Untuk menghindari terpengaruh oleh media framing, ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat. Pertama, kita sebaiknya memperoleh informasi dari berbagai sumber yang beragam, seperti media massa, media sosial, situs-situs berita online, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita dapat memperoleh gambaran yang lebih seimbang dan akurat tentang suatu isu atau kebijakan.
Kedua, kita juga dapat meminta pendapat atau masukan dari pakar atau ahli terkait dengan suatu isu, seperti akademisi, pegiat, atau organisasi nirlaba yang memiliki keahlian dalam bidang terkait. Dengan demikian, kita dapat memperoleh pandangan yang lebih profesional dan akurat tentang suatu isu.
Ketiga, kita juga dapat memainkan peran aktif dalam mempengaruhi narasi media dengan cara membagikan informasi yang akurat dan bermakna kepada teman-teman dan keluarga kita. Dengan begitu, kita dapat membantu menyebarkan pesan yang positif dan membangun kesadaran masyarakat tentang isu-isu yang penting.
Dengan melakukan langkah-langkah tersebut, kita dapat berkontribusi menyebarkan pesan yang positif dan membangun kesadaran masyarakat tentang isu-isu yang penting dan terhindar dari kontrol media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H