Masyarakat kita saat ini senang berbagi informasi. Hal ini dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya hingga  berbagai kalangan. Pengguna telepon seluler (ponsel) masyarakat Indonesia tahun 2017 mengutip dari databoks.katadata.co.id mencapai 371,4 juta pengguna atau 142 persen dari total populasi sebanyak 262 juta jiwa.
Berdasarkan data wearesocial.sg, pengguna internet di tanah air mencapai 132,7 juta  dengan penetrasi sekitar 51 persen dari populasi. Untuk pengguna media sosial aktif mencapai 106 juta dengan penetrasi sekitar 140 persen, pengguna media sosial mobile aktif mencapai 92 juta atau sekitar 35 persen dari populasi. Dengan demikian, mereka bisa berbagi informasi dengan cepat.
Media sosial dan aplikasi pengirim pesancepat menjadi media favorit. Namun, ini menimbulkan polemik baru. Informasi benar dan salah menjadi campur aduk. Akibatnya, masyarakat mudah terpengaruh dengan berita palsu atau "hoax". Meskipun pemerintah saat ini sedang mengkampanyekan anti-hoax.
Hoax sendiri memiliki definisi berita yang memiliki informasi yang tidak valid atau disebut berita palsu. Jika sebelumnya hoax-hoax ini disebar melalui sms atau e-mail. Maka, hoax sekarang ini lebih banyak beredar di media sosial seperti facebook, instagram, whatsaap, twitter, serta blog-blog tertentu.
Penyebaran berita hoax saat ini menyebabkan pengguna internet atau netizen sangat khawatir. Sebab, hoax selalu memberikan konten yang negatif. Atau juga, provokasi atau agitasi negative, yaitu ujaran kebencian yang menyulut kemarahan pada setiap orang. Maka dari itu dibutuhkan ke hati-hatian dalam menerima informasi.
Meskipun demikian, ada sebagian masyarakat yang mudah percaya dengan informasi hoax. Menurut pandangan psikologis,  penyebab orang cenderung percaya pada berita hoax. Yakni jika  informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki.
Secara alami perasaan positif seseorang akan timbul jika opini atau keyakinannya mendapatkan afirmasi. Sehingga cenderung tidak mempedulikan, apakah informasinya benar atau salah? Hal ini dapat diperparah jika si penyebar hoax minim pengetahuan. Â
Bagaimana Peran Pemerintah?
Dalam melawan hoax dan mencegah meluasnya dampak negatif hoax, pemerintah pada dasarnya telah memiliki payung hukum yang memadai. Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran hoax.
Selain produk hukum, pemerintah juga sedang menggulirkan kembali wacana pembentukan Badan Siber Nasional yang dapat menjadi garda terdepan dalam melawan penyebaran informasi yang menyesatkan, selain memanfaatkan program Internetsehat dan Trust+Positif yang selama ini menjalankan fungsi sensor dan pemblokiran situs atau website yang ditengarai memiliki materi negatif yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Gerakan Literasi Melawan Hoax